Posko Hijau Di Cipageran Kota Cimahi

Ambisi kota Cimahi menjadi Kota Kompos ( PR, 2 Maret 2006) pada tahun 2010 bukan tanpa alasan. Longsor sampah di TPA Leuwigajah yang menewaskan seratus jiwa lebih pada 21 Maret 2005 lalu masih membekas di ingatan warga hingga kini. Kendati TPA itu kini ditutup dan 3 kabupaten Kota- yakni Cimahi-Kota Bandung dan Kab Bandung- menjadi repot karenanya, penolakan warga akan keberadaan TPA berada di wilayahnya terus berlangsung manakala Pemerintah menghembuskan kehendak membukanya kembali.
Walikota Ir. H. M. Itoc Tochija, M.M., yang mencetuskan ide Kota Kompos sepantasnya diacungi jempol, kendati keinginan ini nampaknya kurang disambut secara antusias oleh aparat Pemerintah Kotanya sendiri. Nampak ketika jawaban kepada peneliti muda, sdri Rafianti dari Universitas Wageningen, bertanya kepada Dinas dan Badan di Cimahi tentang pengembangan kompos sebagai jalan keluar dari masalah sampah. Keinginan hanya diterjemahkan lewat pengadaan dana pembelian sedikit komposter dan tempat sampah, selebihnya kumaha masyarakat wae………….

Mulai berkembangnya pengomposan khususnya di Cimahi adalah dipicu longsornya TPAS leuwigajah yang kemudian dengan gencar dilakukan IR Sonson Garsoni – seorang pengusaha di Bandung yang peduli lingkungan kemudia seringkali mengumpulkan berbagai komponen masyarakat guna mengadopsi teknik membuat kompos dengan menggunakan Bio Reaktor Mini (BRM) atau Komposter. Merobah persepsi masyarakat bahwa membuat kompos praktis dan mudah memang tidaklah gampang. Berpuluh tahun lalu kompos dipersepsikan sebagai pekerjaan kumuh dan bau, dan hanya petani peminat pupuk aja yang membuatnya. Dengan menyiapkan lahan kemudian menimbun sampah lapis demi lapis serta membaliknya setiap beberapa hari akan menjadi kompos dalam 1 bulan. Kendati kini diberikan teknik menggunakan Bio Reaktor Mini (BRM), dengan hanya memasukan bahan sampah organik sert mencipratinya dengan aktivator kompos Green Phoskko dan mencampur serta mengaduknya dengan penggembur ( bulking agents) Green Phoskko kemudian dibiarkan selama 12 hari pun akan jadi kompos, tetap tidak mudah membuat kompos untuk serta merta menjadi kegiatan masyarakat. Namun, kendati belum semua masyarakat melakukannya, kini beberapa pemuda berusaha konsisten menjadikan usaha kompos dari sumber sampah rumah tangga di lingkungannya antara lain dilakukan oleh Uus, di RW 15 Cipageran Kota Cimahi.

Sampah yang diproduksi warga Kota Cimahi, jika keadaan TPA bermasalah terpaksa dibiarkan bertumpuk di tempat penampungan sementara (TPS). Dengan volume sampah mencapai 1.200 m3 per hari, timbunan sampah semakin menggunung karena Kota Cimahi tidak memiliki tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Kemudian dengan ide mengolah menjadikan sampah kompos, sebanyak 6 unit BRM tipe L di kelola Uus untuk pengelolaan sampah di RW 15 Cipageran Cimahi. Dengan Bio Reaktor itu Uus melayani pengelolaan sampah dari 100 KK, dengan cara menguimpulkannya melalui penarikan sampah yang dilakukan setiap 2 hari sekali dengan volume sebanyak 3 gerobak atau 1,5 m3, Uus juga menerapkan sistem pemilahan antara sampah organik dan non organik dilakukan yang di lokasi pengolahan sampah – yang kemudian diberi nama Pilot PLAN………..entah apa maksudnya Dinas Lingkunagn Hidup Kota Cimahi menamainya demikian.

Dari pekerjaan tersebut, Uus kemudia mendapat penghasilan dari menjual Kompos yang dihasilkan dijual ke masyarakat sekitar dengan harga Rp. 15.000 per karung dan ditambah pendapatan dari retribusi kebersihan warga secara sukarela setiap dia menarik sampah dari rumah ke rumah. Nah jadi lumayan juga dapat duit dari masalah TPA sampah………………sekiranya setiap warga mengolah sendiri di rumah-rumah malahan nagk bisa Kang Uus dapat penghasilan dari kompos dong……………..