Wacana pemanfaatan sampah sebagai tenaga listrik (waste to energy) atau pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) telah lama dicanangkan banyak pimpinan kota di Indonesia, mulai Tangerang, Surabaya, Sarbagita Bali, Malang, Bekasi, Palembang, demikian juga kota Bandung, Cimahi, dan kota lainnya. Namun, hingga kini, setelah diwacanakan lima tahun lalu di Surabaya dan Bali, hampir dipastikan, belum ada pembuktian jika pemanfaatan sampah menjadi tenaga listrik (waste to energy), memiliki kelayakan secara ekonomi, sosial, apalagi secara lingkungan. Rencana kebijakan, yang terlontar dan mengambang bertahun-tahun, justru malahan, membuat gamang dan ragu berbagai komponen masyarakat, dalam berpartisipasi ikut mengatasi masalah sampah kotanya sendiri.
Berbagai inisiatif dan prakarsa masyarakat dalam pengelolaan sampah di sumbernya, melalui pembuatan kompos, dan daur ulang aneka jenis anorganik menjadi kriya kerajinan, misalnya, seolah terbatasi oleh kurangnya dukungan pemerintah, dan akhirnya, perlahan tapi pasti, mati suri.
Mekanisme insentif dan disinsentif tidak berjalan, entitas penimbul sampah yang dapat mengelola sampahnya secara mandiri, tetap saja dipungut retribusi kebersihan kota. Diasumsi para penggiat pengelolaan sampah swadaya, sumber daya anggaran pembangunan kota dan, bahkan, material sampahnya pun, setelah beroperasi proyek (PLTSa), pasti akan diprioritaskan bagi pemenuhan proyek besar- yang menjadi pertaruhan tersebut. Melakukan investasi atas inisiatif swadaya, dalam jangka menengah bisa merugikan tatkala timbul persaingan dalam perolehan sampah sebagai bahan baku.
Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sampah berbasis teknologi skala suatu kota (PLTSa) demikian dapat difahami, karena kurangnya pasokan sampah kepada proyek PLTSa, misalnya, yang memang diketahui memiliki syarat skala minimal pasokan tertentu bagi keberlangsungan operasinya, akan membuat terganggunya proyek. Manakala banyak sampah didaur ulang di sumber timbulnya, atau adanya moral hazrads pelaksana pengangkutan melakukan pengalihan pengiriman sampah, bisa mengancam gagalnya pemenuhan minimal bahan baku PLTSa. Apalagi, jika anggaran pemerintah kota dan retribusi, yang nantinya akan jadi beban masyarakat, bagi pembayaran jasa pengelolaan sampah ( tipping fee) berhenti, investor tidak lagi mau menjalankan proyeknya secara gratis. Pengelolaan sampah berskala besar, seringkali terhadang pelaksanaannya, bukan oleh persoalan investasi dan teknologi semata, namun, secara sosial masyarakat belum bisa mengerti sisi kemanfaatannya secara langsung. Terhambatnya pengelolaan sampah skala besar, dilihat dari pengalaman di beberapa kasus, adalah berkaitan dengan tingkat partisipasi warga. Proyek tersentralisasi seperti demikian itu, berpeluang menurunkan inisiatif dan prakarsa masyarakat dalam ikut serta menjalankan dan berinvestasi secara swadaya dan berskala kecil.
Terlepas dari adanya pro dan kontra kepada proyek pengelolaan sampah skala suatu kota (waste to energy) namun, karena sampah telah menjadi masalah yang mengganggu keseharian warga penduduk dengan adanya banjir, tumpukan penimbul bau dan gangguan pada sanitasi serta kesehatan, maka pengelolaannya adalah suatu keharusan. Sementara pimpinan kota masih berwacana dan menyiapkan suprastruktur (peraturan, sistim, mekanisme, studi kelayakan dan investasi) maupun infrastruktur, metoda 3R, yang dapat dilakukan dengan biaya murah, dan dapat dilakukan di sumber timbulnya sampah, justru makin berkembang. 3 R sebagai kegiatan reuse, reduce, dan recycle, nampaknya suatu pilihan logis dilakukan saat ini, baik atas motivasi usaha maupun niatan peduli lingkungan mereduksi pemanasan global. Metoda 3 R, dengan berbasis masyarakat (komunitas) terus berlangsung, baik dengan atau tanpa dukungan pemerintah sekalipun.
Reuse, menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama, ataupun fungsi lainnya, adalah ajaran agama untuk tidak membubadzirkan sesuatu barang. Reduce, berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah, adalah ajaran nilai dan agama untuk berlaku hidup bersih dengan meminimalkan pembuangan material. Dan, recycle, berarti mengolah kembali ( daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat, adalah pekerjaan mulia, karena merobah masalah menjadi berkah bagi manusia. Metoda 3 R, dengan berkurangnya kebutuhan barang baru dan minimalnya timbulan sampah, sangat berarti guna mereduksi timbulan emisi gas (methana dan hidrogen sulfida), penyebab utama pemanasan global.
Pengomposan (composting), berasal dan populer di pertanian, dengan modifikasi teknik bedeng menjadi rotary kiln, sebagai alat mesin lebih modern dibanding cara manual (teknik bedeng terbuka), menjadi layak diterapkan di perkotaan. Instalasi rotary kiln kini sudah banyak dipercayai dan dirasakan manfaatnya dalam menyelesaikan masalah yang ditimbulkan sampah, khususnya sampah organik. Instalasi Rotary Kiln, dalam bentuk Instalasi Produksi Kompos Kota (IPKK) misalnya, dapat ditemui mengatasi masalah sampah di beberapa kawasan komersial ( pemukiman, mall, hotel, kawasan industri, pabrik,dll). IPKK juga berguna dalam mengatasi masalah sampah dan limbah di kawasan sosial ( sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, dll) serta masalah, yang ditimbulkan dari keberadaan limbah organik (industri makanan dan minuman, serta limbah pertanian, limbah peternakan dan perkebunan). Instalasi pengelolaan sampah yang dapat dioperasikan di lokasi sumber timbulnya sampah ini, sekurangnya telah mengurangi peningkatan keluaran CH4 dan H2S, dari sampah organik jika tanpa pengelolaan, tentu saja berkontribusi mengurangi resiko dari pemanasan global. Timbulan sampah, yang kian hari makin besar, sementara biaya mobilisasi pembuangannya pun akan makin meningkat, sudah memang sudah seharusnya di kelola di sumber timbulnya masing-masing, salah satunya dengan metoda 3 R. Karena, sampah yang timbul tiap hari dan makin besar volumenya, tidak bisa lagi menunggu wacana sampah menjadi energi (waste to energy) usai.