Problem Kesehatan dan Herbal Oleh H. ACHMAD SETIYAJI
MENTERI Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari mengakui terus terang perihal ruwetnya persoalan kesehatan di Indonesia. Disebutkannya, belum selesai satu persoalan kesehatan, ternyata sudah muncul lagi kasus kesehatan yang lainnya.
Bangsa Indonesia pun menghadapi beberapa problem kesehatan dalam waktu yang tak jauh berbeda, seperti penyakit antraks pada hewan, flu burung, heboh zat pengawet formalin, keracunan, busung lapar, dan sebagainya. Salah satu upaya Siti Fadilah Supari menghadapi persoalan kesehatan tersebut, yakni back to basic selaku orang yang beragama. Dia mendekatkan diri ke hadirat-Nya, serta rajin bersilaturahmi (“PR”, 20/3).
Prinsip back to basic tampaknya juga bisa diterapkan tatkala sebagian besar masyarakat menghadapi dampak dari perubahan gaya hidup. Ya, konon gaya hidup kini ditandai dengan “kemoderenan” pola makan dan minum seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Artinya, makanan dan minumannya tidak lagi bersifat tradisional. Jenis, bentuk, dan kemasan makanan serta minumannya berbeda dibandingkan di masa silam.
Kini, makanan dan minuman yang sifatnya tradisional “tergeser” dari tengah kehidupan masyarakat perkotaan. Anak-anak zaman sekarang cenderung rada sulit mengenal makanan khas suatu daerah di perkotaan. Mereka baru mengetahui, mengenal, dan menikmati makanan tradisional tatkala mudik ke suatu daerah tertentu. Sejumlah wisatawan dan wartawan luar negeri yang datang ke Bandung, misalnya, seringkali merasa memperoleh kenyamanan dan kenikmatan tersendiri ketika mengunjungi objek wisata yang bernuansa alami, plus memperoleh suguhan makanan-minuman tradisional daerah Jabar yang terbebas dari zat pengawet maupun pewarna.
Di antara para turis itu, ada juga yang merasakan “nikmat” di kala memperoleh pelayanan pengobatan tradisional. Mereka sengaja datang ke Indonesia dengan mengeluarkan uangnya dalam jumlah besar, demi menikmati atmosfer “kembali ke alam” (back to nature). Wisatawan domestik pun ada yang menganut pemahaman tentang pentingnya konsep hidup “kembali ke alam” di masa kini. Sejumlah keluarga yang hidup di perkotaan sering memanfaatkan masa liburnya dengan mengunjungi dan menginap di objek-objek wisata yang alami.
Mereka seolah-olah rindu dengan suasana alam yang khas pedesaan, seperti bentuk rumah yang serba bambu, kayu, papan, dan terdengar suara gemericik air dari pancuran, udara yang bebas polusi, serta suara kodok dan jangkrik tatkala malam hari. Prinsip back to nature ini pada hakikatnya merupakan wujud lain dari back to basic. Maksudnya, manusia kini cenderung kembali ingin meraih hal-hal yang esensial sebagaimana dulu para nenek moyang sempat mengenyamnya. Ya, ingin memakan makanan dan meminum minuman yang terbebas dari zat pengawet dan zat pewarna, serta menikmati udara tanpa polusi.
Konsep “kembali ke alam” (back to nature) tersebut, juga menyentuh “wilayah” pengobatan. Betapa tidak, sejumlah ahli, pakar, tabib, dan sejenisnya yang punya kemampuan pengobatan dengan mendayagunakan alam–seperti tanaman–kerapkali menjadi objek kunjungan turis asing maupun domestik.
Tak hanya itu, obat-obatan yang merupakan hasil racikan sejumlah tanaman mengandung unsur obat, kini mengalami masa marema. Di beberapa lokasi objek wisata di Jabar ini, kita dapat menemui secara mudah sejumlah penjaja obat dari tanaman jenis obat (herbal). Umpamanya, di kawasan Gunung Tangkubanparahu dan Maribaya Lembang, Puncak Cianjur, serta di Pantai Pangandaran Ciamis, banyak ditawarkan obat-obatan hasil racikan dari tanaman jenis obat (herbal). Bahkan di lokasi objek wisata rohani seperti Pesantren Daarut Tauhiid (DT) Bandung, kita bisa menjumpai penjaja obat-obatan herbal tersebut.
Fenomena pergeseran minat masyarakat terhadap obat-obatan herbal, dapat diketahui pula ketika berada di sejumlah tempat di luar negeri, seperti di Singapura dan Malaysia. Di beberapa tempat di Singapura dan Malaysia, kita bisa secara mudah menemui makanan dan minuman khas dari jenis ginseng. Di Ghuang Zho dan beberapa kota di RRC, juga mudah ditemui obat-obatan herbal.
Kesadaran masyarakat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, sesungguhnya merupakan suatu hal yang urgen dan signifikan bagi kesehatan tubuh manusia. Karena, hal tersebut dapat mengurangi angka kesakitan, baik pada anak atau orang dewasa. Di sisi lain, upaya masyarakat untuk menjaga serta meningkatkan kekebalan tubuh (imunitas), ternyata diwarnai nuansa “penyimpangan”. Misalnya, ada sejumlah anggota masyarakat yang mengonsumsi obat-obatan tertentu dan minuman suplemen tanpa memperhatikan efek sampingannya. Akibatnya, mereka bukannya bertubuh sehat dan memiliki kekebalan tubuh (imunitas). Akan tetapi, mereka menderita sakit sebagai akibat dari efek sampingan yang tak teratasi.
Sejumlah orang pun berusaha mencari obat yang tidak menimbulkan efek sampingan. Pemikiran untuk kembali ke alam (back to nature) tumbuh dan berkembang. Beberapa warga masyarakat berikhtiar menggali potensi obat yang bersumber dari tanaman di Indonesia. Alhasil, dikenallah istilah herbal atau tanaman obat.
Sayangnya, potensi herbal Indonesia belum tergali secara optimal. Hingga kini, Indonesia baru memiliki lima Fitofarmaka (obat dari bahan alam yang telah melalui uji klinis). Salah satunya adalah Stimuno yang berkhasiat menjaga dan meningkatkan sistem imun tubuh (imunomodulator). Peningkatan sistem imun tubuh ini penting, sehingga sepatutnya bangsa Indonesia mengembangkan terus kegiatan uji klinis terhadap obat-obatan yang berasal dari bahan alam. Sungguh memprihatinkan apabila potensi tanaman obat Indonesia yang sangat besar ini tidak dimanfaatkan secara optimal.
Untuk itulah, perlu ada komitmen dan kerja sama antara pihak-pihak terkait agar bisa melipatgandakan eksistensi Fitofarmaka. Jika saat ini, baru ada lima Fitofarmaka, maka diharapkan dalam waktu dekat ada puluhan bahkan ratusan Fitofarmaka. Dalam hal ini, tentunya–sambil menunggu peningkatan Fitofarmaka lainnya–kita perlu memanfaatkan Fitofarmaka yang ada. Maksimalkanlah penggunaan Stimuno sebagai upaya menjaga dan meningkatkan sistem imun tubuh. Ketahuilah, menjaga dan meningkatkan daya tahan tubuh menggunakan tanaman obat asli Indonesia yang telah melalui uji klinis (memiliki sertifikat Fitofarmaka) merupakan tindakan preventif yang paling tepat. Marilah kita budayakan kegiatan memanfaatkan halaman rumah serta daerah yang gersang untuk kebun tanaman obat (hortus medicus). *** Penulis, wartawan “PR” di Bandung.