Mencermati problematika sampah dan ikhtiar penyelesaiannya oleh pemerintah maupun masyarakat nampak terdapat keraguan ketika hendak memulai aksi serta merealisasi investasinya. Beberapa pertanyaan sering muncul misalnya:
1. apakah sebaiknya olah sampah di sumber, desentralisasi, atau lebih baik di pusatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ?
2. metoda pemusnahan manakah yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia ? banyaknya pilihan dan penawaran mulai mesin kompos,gasifikasi, pirolisis, RDF, biodigester maupun insenerator ?
3. berapa patokan nilai investasi per satuan berat pemusnahan sampah yang wajar ?
4. kapan memulai pengelolaan sampah dilakukan ? karena dengan tetap menyerahkan guna diangkut oleh otoritas Dinas Kebersihan Pemerintah Kota/ Kabupaten juga tidak ada sangsi ?
Sebagai jawaban atas itu, bacaan berikut ( dan di dalam artikelnya juga terdapat link penjelasan) semoga menjadi referensi,
INILAH, Bandung – Pemerintah Kabupaten Bandung diminta memisahkan pengelolaan sampah antara tempat komersial dan kawasan publik. Hal itu dinilai akan mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan sampah yang ternyata makin tidak murah dan memerlukan keseriusan dalam penanganannya.
Aktivis lingkungan yang fokus terhadap pengelolaan sampah, Sonson Garsoni mengatakan, selama ini Pemkab Bandung belum melakukan pemisahan kewajiban pengelolaan sampah. Sehingga, semua beban pengelolaan sampah menumpuk di pemerintah.
“Di Kabupaten Bandung itu tempat-tempat komersial seperti pabrik, hotel, restoran, pasar, dan permukiman elit atau real estate belum melakukan kewajibannya dalam pengelolaan sampah. Ini tinggal pengimplementasian UU saja, dan ditekankan dengan mengeluarkan Perda dan Surat Edaran (SE) Bupati, agar mereka mengelola sendiri sampahnya,” kata Son Son, Kamis (23/6/2016).
Mesin Gasifikasi Pemusnah Sampah kering dan Plastik, http://www.kencanaonline.com
Sonson mencontohkan, jika di sebuah pabrik dengan jumlah pegawai sekitar 5.000 orang, maka per hari paling tidak akan memproduksi sampah sekitar 1 ton. Jumlah tersebut tentu tidak sedikit, apalagi di Kabupaten Bandung terdapat ribuan pabrik. Begitu juga dengan tempat komersial lainnya. Seperti pusat perbelanjaan, hotel, restoran, pasar dan permukiman elit.
“Kalau saja UU tentang pengelolaan sampah ini diterapkan secara maksimal seperti yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, tentu beban pemerintah daerah akan jauh berkurang. Karena bebannya hanya tersisa pada publik area dan permukiman saja,” ujarnya.
Namun sayangnya, lanjut dia, penegakan UU No 18 tahun 2008 belum diterapkan secara maksimal. Sehingga, beban pengelolaan sampah tetap berada di pemerintah daerah. Padahal, biaya yang harus dikeluarkan untuk pengelolaan sampah itu tidaklah sedikit.
Tuntaskan sampah di sumbernya
Berdasarkan hasil kajian BPPT, investasi untuk pengelolaan sampah yang maksimal melalui pengolahan dengan pembakaran (incenerator) kapasitas 1000 ton/ hari di TPA memerlukan biaya investasi sekitar Rp1,3 triliun. Lalu untuk pengelolaannya, diperlukan biaya Rp400 ribu untuk setiap ton sampah yang ditangani.
“Permasalahan sampah ini dirasakan oleh semua daerah di Bandung Raya. Apalagi semuanya mengandalkan pembuangan ke TPA yang lokasinya jauh. Tentu ini memerlukan biaya transportasi karena jaraknya jauh, lalu ditambah biaya pengolahan. Ini menjadi sangat mahal dan jadi beban pemerintah daerah,” katanya.
Padahal, kata Sonson, pengelolaan sampah dengan metode 3R bisa menghemat anggaran pemerintah. Sekaligus membangun kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan mengelola lingkungannya. “Apalagi nanti kalau TPA Legoknangka diNagreg itu sudah dioperasikan, itu akan menimbulkan biaya yang tidak sedikit untuk transportasinya karena jarak yang jauh. Belum lagi kemacetan bisa menghambat waktu. Jadi alangkah baiknya jika pemerintah menekankan pengelolaan sampah dengan metode 3R yang dilakukan secara masif dan sungguh-sungguh,” ujarnya.
Per hari kapasitas pemusnahan 1 ton Sampah organik akan setara dengan volume 1 Rukun Warga (RW) di Perkotaan padat penduduk. Kebutuhan lahan 5 m2, membebaskan biaya angkut dan muat ke TPA, membuat pasokan kompos bagi lingkungan sekitar.
TPST Sampah Skala Kawasan
Berdasarkan pantauan INILAH, tumpukan sampah dengan mudah ditemukan di beberapa titik Tempat Pembuangan Sampah (TPS) liar di sepanjang Jalan Raya Terusan Al Fathu Soreang. Sampah berceceran di tepi jalan itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga sekitar. Bahkan sesekali terlihat pengendara motor dengan bebasnya melemparkan sampah di tempat tersebut.
“Sebenarnya kami juga tidak mau buang sampah di pinggir jalan, tapi karena enggak ada TPS terpaksa dibuang di pinggir jalan. Seharusnya pemerintah juga bisa menyediakan TPS dan pengangkutan sampah dengan jadwal yang jelas. Kalau sekarang, kita disuruh tidak buang sampah sembarangan, tapi tempat untuk membuang yang benarnya enggak tersedia,” kata Hendia (30), salah seorang penggendara motor yang biasa membuang sampah di tepi Jalan Raya Terusan Al Fathu Soreang. [hus], naskah asli, Inilah.Com
2 thoughts on “Tempat Komersial Seharusnya Kelola Sampah Secara Mandiri”
saya selalu mengikuti tulisan anda,bagus dan menginspirasi,terimakasih
Terimakasih pak Afrizal Abdi, semoga jadi bahan pembuatan keputusan bahwa pengelolaan sampah sejatinya dilakukan oleh semua perusahaan, korporasi dan penimbul sampah itu sendiri
saya selalu mengikuti tulisan anda,bagus dan menginspirasi,terimakasih
Terimakasih pak Afrizal Abdi, semoga jadi bahan pembuatan keputusan bahwa pengelolaan sampah sejatinya dilakukan oleh semua perusahaan, korporasi dan penimbul sampah itu sendiri