Menanggulangi Sampah Itu Diperlukan Juga Kearifan Lokal

silver car parked beside white car during daytime

Oleh : Sonson Garsoni *)

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, telah berulang kali mengalami kondisi penuh (overload) sepanjang masa operasionalnya. Hal ini disebabkan oleh terus meningkatnya volume sampah yang masuk setiap harinya dari wilayah Bandung Raya, yang mencapai ribuan ton. Solusi yang selama ini diterapkan oleh pemerintah hanyalah memperluas areal TPA Sarimukti, tanpa diimbangi dengan upaya serius dalam mengolah sampah itu sendiri. Perluasan lahan tersebut hanyalah solusi sementara dan bersifat jangka pendek, yang pada akhirnya akan kembali menghadapi masalah overload di masa mendatang. Siklus penuh-perluas-penuh ini menunjukkan ketidakmampuan strategi pengelolaan sampah yang selama ini dijalankan.

Permasalahan semakin diperparah dengan kenyataan bahwa sampah yang masuk ke TPA Sarimukti sebagian besar bukanlah sampah residu (yang sudah tidak bisa diolah lagi). Banyak sekali proporsi sampah organik dan material lain yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan seperti pakan ternak atau diolah menjadi kompos, biogas, atau produk daur ulang. Ketidakmampuan mengolah sampah secara optimal ini berakibat pada peningkatan resiko lingkungan yang sangat serius. Sampah organik yang tertimbun di TPA akan mengalami dekomposisi anaerobik, menghasilkan gas metana (CH₄) dalam jumlah besar. Metana adalah gas rumah kaca yang jauh lebih poten daripada karbon dioksida dalam menyebabkan pemanasan global. Jika diasumsikan satu ton sampah organik menghasilkan 40 m³ metana, maka jutaan ton sampah yang menumpuk di TPA Sarimukti dan di semua TPA Sampah di seluruh tanah air berkontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca.

Akumulasi emisi gas metana dari TPA, yang tidak dikelola dengan baik, jelas memperburuk perubahan iklim. Dampaknya terlihat pada pemanasan global yang semakin nyata, ditandai dengan cuaca yang semakin tidak menentu, peningkatan suhu udara, dan berbagai fenomena ekstrem lainnya. Untuk itu, solusi yang berkelanjutan dan komprehensif sangat dibutuhkan, bukan hanya memperluas TPA. Investasi di teknologi pengolahan sampah, peningkatan program daur ulang, edukasi publik, dan penerapan prinsip ekonomi sirkular bahkan mengenalkan kearifan lokal kepada masyarakat merupakan langkah penting untuk mengatasi masalah sampah di Bandung Raya dan mencegah dampak lingkungan yang lebih buruk di masa depan.

Sampah Kota Ekses dari Masalah Pertanian

Timbulan sampah di perkotaan, khususnya sampah organik, seringkali mencerminkan permasalahan dalam pengelolaan rantai pasok komoditas pertanian. Sayuran, buah-buahan, dan hewan ternak yang dikirim dari daerah pertanian ke kota mengalami proses sortasi dan grading sepanjang rantai distribusi. Proses ini menghasilkan limbah organik dalam jumlah besar berupa sisa panen, bagian tanaman yang tidak layak jual, dan sisa pemotongan hewan. Ironisnya, limbah organik ini, yang seharusnya menjadi sumber daya berharga bagi pertanian, justru berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan tidak dikembalikan ke lahan pertanian sebagai pupuk organik.

Akibatnya, lahan pertanian di daerah asal komoditas tersebut mengalami penurunan kesuburan secara signifikan, ditandai dengan kadar karbon organik (C Organik) yang rendah, bahkan kurang dari 2%. Hal ini memaksa petani untuk bergantung pada pupuk kimia yang mahal dan berpotensi merusak lingkungan. Sementara itu, di perkotaan, penumpukan sampah organik menimbulkan masalah sanitasi dan lingkungan yang serius. Proses dekomposisi anaerobik menghasilkan gas metana yang menjadi kontributor utama pemanasan global. Timbulan sampah organik yang tidak dikelola dengan baik juga mengakibatkan pencemaran air dan tanah, serta menimbulkan bau tidak sedap.

Situasi ini menggambarkan ketidakseimbangan sistem yang nyata. Limbah organik yang seharusnya menjadi siklus nutrisi kembali ke lahan pertanian malah berakhir sebagai beban di perkotaan. Untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan pendekatan yang terintegrasi, termasuk meningkatkan efisiensi rantai pasok pertanian untuk meminimalkan limbah organik, membangun sistem pengolahan kompos skala besar di dekat pasar sayur pinggiran perkotaan maupun di daerah pertanian, serta program edukasi yang mendorong pengembalian limbah organik ke lahan pertanian sebagai pupuk alami. Dengan demikian, kita dapat membangun sistem yang lebih berkelanjutan, di mana sampah organik menjadi sumber daya yang berharga bagi pertanian, meningkatkan kesuburan tanah, dan mencegah degradasi lingkungan.

Kearifan Lokal Masyarakat Pertanian

Memahami ekosistem pertanian secara mendalam memberikan perspektif baru dalam menyelesaikan permasalahan sampah organik di perkotaan. Sampah organik, yang mendominasi komposisi sampah kota, sesungguhnya dapat dikelola secara efektif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan prinsip ekonomi sirkular. Alih-alih berakhir di TPA yang menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan, sampah organik dapat menjadi sumber daya berharga dalam sistem pertanian terintegrasi.

Salah satu contoh kearifan lokal yang dapat diimplementasikan adalah pemanfaatan hewan ternak pemakan organik. Hewan ruminansia seperti domba, sapi, dan kambing dapat menghabiskan berbagai jenis sampah organik segar, seperti sisa sayuran, buah-buahan, dan daun ranting tebangan pohon perkotaan. Secara khusus sisa organik dapur (SOD) yang belum terkontaminasi benda lain, misal langsung dari dapur, selain dapat digunakan sebagai pakan cacing dan maggot (yang kemudian menghasilkan pupuk organik), juga dapat menjadi pakan ternak unggas seperti ayam, itik, dan entog. Sistem ini menciptakan siklus yang terintegrasi, di mana limbah organik dari perkotaan menjadi sumber makanan ternak, dan kotoran ternak tersebut dapat diolah menjadi pupuk organik yang kembali menyuburkan lahan pertanian. Penerapan model ini tidak hanya mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA, tetapi juga menghasilkan produk pertanian yang bernilai ekonomis.

Untuk mendukung sistem ekonomi sirkular ini, diperlukan beberapa langkah strategis. Pertama, perlu adanya perekayaan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui program edukasi mengenai pengelolaan sampah organik dan budidaya ternak. Kedua, perlu mendorong warga untuk mengembangkan taman pekarangan produktif untuk menghasilkan kompos dan pakan ternak. Ketiga, pemerintah perlu membangun dan mendukung program urban farming di lahan-lahan kosong di perkotaan dan lahan desa. Keempat, pabrik dan perusahaan dapat memanfaatkan sebagian pekarangan dan bahkan lahan atap (rooftop) mereka untuk kegiatan urban farming. Dengan kolaborasi dan langkah-langkah terintegrasi seperti ini, sampah organik yang selama ini menjadi permasalahan dapat diubah menjadi sumber daya yang bermanfaat bagi lingkungan dan perekonomian, menciptakan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan bernilai tambah.

Peranan Pengelola Kawasan Komersial

Pengolahan sampah organik di kawasan komersial memiliki potensi besar dalam mengurangi volume sampah yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Kawasan komersial, meliputi mal, ruko, perumahan kalangan atas, hotel, restoran, kafe, dan pabrik, menghasilkan sampah organik dalam jumlah signifikan. Dengan menerapkan teknologi tepat guna dalam pengelolaan sampah organik di kawasan-kawasan ini, akan memberikan dampak besar terhadap pengurangan sampah dan juga berpotensi untuk meningkatkan nilai ekonomi.

Berbagai teknologi pengolahan sampah organik telah tersedia dan dapat diimplementasikan di kawasan komersial, mulai dari teknologi sederhana hingga yang lebih maju. Mesin kompos skala beberapa ton per batch per unit cocok digunakan untuk mengolah sampah organik dalam jumlah sedang. Mesin ini relatif mudah dioperasikan dan perawatannya tidak terlalu rumit, sehingga cocok untuk diterapkan di kawasan komersial yang memiliki keterbatasan lahan dan sumber daya manusia. Alternatif lain adalah teknologi anaerobic digester yang mampu menghasilkan biogas dari sampah organik. Biogas ini dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif, sehingga memberikan manfaat tambahan berupa energi terbarukan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Pemilihan teknologi yang tepat akan bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah sampah organik yang dihasilkan, ketersediaan lahan, anggaran, dan sumber daya manusia yang tersedia.

Kawasan komersial memiliki peran krusial dalam mengurangi jumlah sampah organik yang masuk ke TPA. Dengan kewajiban dan tanggung jawab yang tertuang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, pelaku usaha di kawasan komersial dapat dan seharusnya berperan aktif dalam mengolah sampah organik yang mereka hasilkan. Hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga yang memiliki teknologi pengolahan sampah, ataupun dengan membangun unit pengolahan sampah organik sendiri di dalam kawasan komersial. Dengan demikian, pengolahan sampah organik di kawasan komersial tidak hanya mengurangi beban TPA, tetapi juga menghasilkan produk-produk bernilai tambah seperti kompos dan biogas, sekaligus juga berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Selain itu, pengelolaan sampah yang baik juga dapat menjadi nilai tambah bagi citra dan daya saing bisnis.

Penutup

Permasalahan overload TPA Sarimukti pada dasarnya berakar pada minimnya upaya pengolahan sampah organik di sumbernya. Solusi yang berkelanjutan membutuhkan pendekatan terintegrasi yang dimulai dengan strategi pengolahan sampah organik di tingkat rumah tangga, kawasan komersial, dan industri, dengan mengacu pada kearifan lokal dan didukung oleh regulasi yang kuat. Hal ini meliputi: (1) Pemanfaatan kembali limbah organik melalui budidaya ternak dan pembuatan kompos di sumber timbulan yang selaras dengan kearifan lokal; dan (2) Kewajiban bagi kawasan komersial untuk menerapkan teknologi pengolahan sampah organik yang tepat guna, sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 dan peraturan daerah terkait. Dengan mengutamakan pengolahan sampah organik di sumbernya, diharapkan volume sampah yang berakhir di TPA dapat berkurang secara signifikan, sehingga mengatasi masalah overload secara berkelanjutan dan mengurangi dampak lingkungan yang negatif. Perluasan TPA semata hanya merupakan solusi jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar permasalahan.*)

*) Penulis, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Asosiasi Konsultan Non Kontruksi Indonesia (Askkindo), Founder PT Cipta Visi Sinar Kencana (CVSK)- KencanaOnline.com