Mesin Pencacah Organik |
Add caption |
Permasalahan sampah di Kota Bekasi semakin pelik. Pasalnya, selain anggaran untuk operasional Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu terganggu, sejumlah alat pencacah sampah yang disediakan untuk mengurangi tumpukan sampah organik di setiap pasar serta sejumlah wilayah perumahan di Kota Bekasi tidak difungsikan. Pantauan “PRLM” di beberapa lokasi, Minggu (9/1), mesin pencacah sampahyang sempat didistribusikan ke sejumlah kelurahan serta pasar tradisional di Kota Bekasi ini dibiarkan menganggur. Demikian berita yang dimuat Pikiran Rakyat (Minggu, 9/1/11)
Berbagai fasilitas mesin pengolahan sampah, yang dalam persepsi banyak pihak, mesin pengolah sampah itu adalah dalam wujud hanya berupa mesin pencacah sampah, dibanyak kota harus diakui telah banyak disediakan pemerintah dan pihak lainnya melalui berbagai keproyekan. Namun, fakta dan berbagai berita media masa seperti diatas sudah banyak mengungkapkan kalau “mesin pengolah sampah” tersebut, sangat disayangkan, tidak bisa berjalan. Apa penyebabnya ? mari kita kenali, dengan maksud sekedar berbagi pengalaman dan pemikiran, agar dengan itu didapatkan solusi bagi pemanfaatan sumberdaya yang ada.
Pengertian pengolahan sampah dengan dibuat kompos, selama ini, dipersepsikan dalam bentuk teknik bedeng terbuka (open windrows). Teknik bedeng terbuka adalah menimbun tumpuk balik sampah organik setelah diperkecil ukurannya, dalam ketebalan sampah tertentu, kemudian diberi tutup terpal, agar dengan itu terjadi penguraian. Metoda bedeng terbuka (open windrows) pada pembuatan kompos di pertanian dan perdesaan, lebih terkenal dengan sebutan pembuatan bokashi, atau sebenarnya pembuatan kompos, guna mengolah sampah dan limbah pertanian, memang sukses dan populer. Namun, harus diakui justru bukan solusi tepat bagi tujuan pengolahan sampah di perkotaan. Terutama, bagi pengolahan sampah satuan skala kecil, tersebar di berbagai sumber sampah berada dan timbul, atau pengelolaan sampah yang mendekati tempat manusia berada seperti kawasan komersial (pasar induk, pasar sayuran, sekolah, perumahan, mall, restoran, hotel, dan penimbul sampah di perkotaan lainnya).
Pertama, kebutuhan lahan dalam teknik bedeng terbuka (open windrows). Bagi pembuatan bedeng (3×4) m2 pada tiap 3 m3 (kubik) atau berat 1 ton sampah di kali jumlah 60 hari proses penguraian, mencapai sekurangnya 720 m2. Luasan diatas, diperlukan bagi mengolah sampah keluaran sampah dari sekitar 1000 jiwa hingga 1200 jiwa/ hari. Statistik mengungkapkan norma keluaran sampah/ kapita/hari adalah 2,8 liter atau berat 0,8 kg. Jumlah populasi 1000 orang, setara dengan target pengelolaan sampah dari 200 an rumah di kawasan perumahan ataupun kerumunan orang di kawasan komersial lainnya ( pabrik, hotel, mall, pasar ) maupun kawasan sosial ( sekolah, rumah sakit). Keperluan 720 m2 bagi target olah sampah dengan keluaran 1 ton/ hari sampah secara terus menerus, sangatlah mahal dan sulit tersedia. Di kawasan komersial (pasar, pemukiman, mall, dan lainnya), tanah seluas diatas memiliki opportunity lain bagi penggunaan lebih menguntungkan.
Kedua, penguraian material organik setelah proses pengecilan ukuran, dengan mesin pencacah sampah, memerlukan stabilitas suhu tertentu, disesuaikan dengan karakter bakteri pengurai yang digunakan. Bakteri pengurai, membutuhkan temperatur, sekurangnya dikelompokan kepada bakteri mesofilik dan thermofilik. Naik turunnya suhu, akibat perobahan lingkungan bergantinya siang, malam dan pagi hari, pada material sampah organik dengan teknik tumpuk balik sering terjadi. Fluktuasi suhu lingkungan mikro, tidak bisa dikontrol oleh peranan terpal penutup. Akibat dari instabilitas suhu, bakteri pengurai tidur (dorman), penguraian (dekomposisi) berhenti, timbul kemudian kerja mikroba patogenik. Resiko instabilitas suhu atau temperatur akan melambatkan penguraian (dekomposisi) material organik,
Ketiga, kelembaban atau kandungan air tidak bisa dijaga sepenuhnya oleh terpal penutup. Dalam teknik bedeng terbuka, pembalikan dilakukan secara manual menggunakan cangkul dan sekop, tidak bisa menjamin penurunan kandungan air, ataupun sebaliknya, meningkatnya kandungan air (kelembaban). Keadaan ini tentu saja akan mengganggu proses penguraian (dekomposisi).
Keempat, stabilitas PH dan intensitas oksigen (aerasi), salah satunya dilakukan dengan memperbesar porositas material, sangat sulit dikontrol jika hanya mengandalkan pada pembalikan manual. Akibat seriusnya, proses dekomposisi berlangsung secara anaerobik (tanpa kecukupan oksigen), timbul reaksi anaerobic dengan keluarnya cairan lindi (leacheate) maupun gas methan (CH4) dan hidrogen sulfifa (H2S). Cairan lindi yang dihasilkan, disamping menimbulkan bau juga menjadi polutan pencemar meresap kedalam tanah, kemudian merembes ke sumur dan saluran air tanah,
Empat masalah diatas menjadi penyebab serius kepada terbengkalai dan gagalnya suatu sistem dan fasilitas pengolahan sampah di perkotaan. Ketika pengolahan sampah, disamakan dengan pembuatan kompos, sebagaimana berlangsung di pertanian dan pedesaan tersebut. Timbulnya aneka masalah, kendati bagi pedesaan dan pertanian, memang bukanlah masalah, antara lain berupa kebutuhan lahan yang luas, proses penguraian berjalan lambat hingga 60 hari, sulitnya tenaga operator bagi kerja pembalikan material berbau, timbulnya polutan bau dan pencemar kepada warga sekitar lokasi, dan serta, kurangnya insentif dari perolehan ekonomi pengolahan sampah.
Teknik menggunakan tabung yang dapat berputar (rotary kiln), digerakan oleh (1) tenaga manusia (manual) mengayuh pedal (RKM 1000L), atau (2). menggunakan mesin penggerak engine (RKE 3000L) serta, (3). menggunakan elektro motor listrik PLN (RKE 1000L) kini menjadi pilihan, Keperluan lahan bagi target 3 m3/ hari sampah, sebagaimana target keluaran dari populasi 1000 hingga 1200 jiwa diatas, hanya seukuran bagi 5 unit x dimensi alat mesin (1,65 x 2,9) m dikali 5 (lima) hari penguraian (dekomposisi), atau setara dengan 23,9 m2. Jauh lebih kecil, atau hanya 3 %, dibanding 720 m2 diatas.
Demikian juga kebutuhan tenaga kerja operator, bagi pengerjaan pengelolaan kadar air, PH, temperatur, penjagaan porositas dan pengerjaan pengelolaan intensitas aerasi jauh berkurang. Disamping rendah atau hilangnya keluaran polutan karena pengaturan cairan lindi, karena dengan penggunaan tabung berputar ( rotary kiln) dekomposisi akan berlangsung terjamin pada kondisi aerobik, penggunaan tabung sebagai media proses penguraian, juga memberikan keluaran baru berupa larutan organik, suatu produk bernilai yang memberikan pendapatan ekonomi.Rotary kiln, sebagai usaha menerapkan mekanisasi sepenuhnya pada proses pembuatan kompos atau kegiatan pengolahan sampah organik, telah merobah metoda bedeng (open windrows) menjadi layak sosial, ekonomi, teknik dan lingkungan guna dilaksanakan di perkotaan dan dekat pemukiman masyarakat.
Penempatan 5 unit rotary kiln, menjadi instalasi pengelolaan sampah di kota (IPSK), di berbagai lokasi timbulnya sampah dari kawasan komersial (perumahan, apartemen, mall, restoran, hotel, pabrik dan kawasan industri) maupun kawasan sosial (komplek pendidikan, rumah sakit), berarti turut menunjang bagi upaya mengembalikan bahan organik ke pertanian. Dengan merobah sampah organik disajikan dalam bentuk pupuk organik (kompos), akan diterima kalangan petani, untuk kemudian mereka memberikan hasil pertanian sebagai bahan pangan dan produk sehat bagi orang kota. Instalasi pengolahan sampah, dengan mekanisasi penuhberada di sekitar sumber timbulnya sampah perkotaan, akan berfungsi dalam turut membangun model pengelolaan sampah mendukung pada terwujudnya pertanian secara berkelanjutan*)
Selanjutnya,
konon sampah di bandara kecil, di berbagai daerah malahan dibakar……..padahal asapnya bisa ganggu penerbangan ya…
Pemerintah Kota Tangerang akan menutup tempat pembuangan sampah ilegal di Neglasari, tempat aktifitas pembuangan sampah bandara Soekarno Hatta. ”Akan kami tertibkan dan distop,”Wahidin mengatakan aktifitas pembuangan sampah ke TPA liar itu melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Peraturan Daerah tentang Keamanan, Kebersihan dan Ketertiban.
Bagaimana masyarakat kecil mau disiplin soal sampah, jika sekelas bandara udara, BUMN Angkasa Pura saja buang sampahnya ke TPA, illegal lagi…………
harus berapa mesin untuk bisa mengatasi ?,tidak ada alasan bila yg.dipergunakan mengatasi soal sampah aalah teknologi pemusnah sampah,jaminan pasti berhasil teratasi dengan baik,seperti kebanyakan yg.lain 40 unit tersebar semuanya berhasil tidak satu pun yg.tidak berhasil.
benar pak, mesin pengolah sampah dapat dipilih antara pembakaran (insinerator) atau penguraian (dekomposisi) menjadi pupuk bagi bahan jenis organik. Kebutuhan jumlah mesin didasarkan atas target sampah yang harus diolah per hari, kemudian bapak Salikun dapat memilih alat sesuai kapasitas masing2 di katalog http://www.kencanaonline.com