Pengurangan Beban Subsidi Energi dan Pupuk Melalui Pemanfaatan Biomassa Sebagai Energi Baru

Sebelum mengenal bahan bakar fossil, manusia sudah menggunakan biomassa sebagai sumber energi. Misalnya dengan memakai kayu atau kotoran hewan untuk menyalakan api unggun. Sejak beralih pada  minyak, gas bumi atau batu bara untuk menghasilkan tenaga, penggunaan biomassa tergeser dari kehidupan manusia.  Namun, persediaan bahan bakar fossil sangat terbatas. Para ilmuwan memperkirakan dalam hitungan tahun persediaan minyak dunia akan terkuras habis. Karena itu penggunaan sumber energi alternatif kini digiatkan, termasuk di antaranya penggunaan biomassa yang menyimpan energi berasal dari proses fotosintesis chlorofil dedaunan tumbuhan dengan bantuan sinar matahari. .
Sinar matahari adalah anugerah yang tak ternilai bagi seluruh penghuni bumi. Sinar matahari berlaku sebagai ”nyawa” dari sumber energi lain yang terdapat di bumi. Contoh pemanfaatan energi paling canggih sekaligus paling tua di bumi adalah penyimpanan energi matahari di dalam biomassa. 
Seperti yang kita tahu, elemen-elemen pengikat karbon, tanaman dan tumbuhan, menangkap energi matahari melalui proses fotosintesis, lalu menyimpannya kedalam ikatan kimia untuk diubah ke berbagai bentuk energi untuk menjalankan berbagai fungsi kehidupan. Dan seiring berjalannya waktu, manusia mulai menciptakan teknologinya sendiri untuk dapat menyimpan dan mengubah bentuk energi matahari untuk menjalankan roda kehidupan mereka.
Bagi negara tropis seperti Indonesia, matahari bersinar selama kurang lebih dua belas jam. Waktu yang lama dan jumlah yang berlimpah ini seharusnya dapat dimanfaatkan agar kita dapat terhindar dari berbagai permasalahan yang kerap menimpa negeri ini. Setidaknya dalam ranah energi matahari, kita tak akan mengenal kata ”krisis”.
Pemanfaatan energi surya masih terhadang dua kendala serius, yaitu rendahnya efisiensi dan mahalnya biaya per satuan listrik. Untuk pembangkit listrik dari photovoltaic, diperlukan biaya US $ 0.25 – 0.5 / kWh. Bandingkan dengan tenaga angin yang memerlukan biaya sebesar US $ 0.05 – 0.07 / kWh, gas US $ 0.025 – 0.05 / kWh, dan batu bara US $ 0.01 – 0.025 / kWh. Maka dari itu diperlukan ikhtiar lain agar sinar matahari sebagai sumber energi dapat dimanfaatkan secara lebih murah lagi, antara lain dalam bentuk pembangkitan energi dari proses fermentasi biomassa seperti model instalasi biogas, bio elektrik dan pupuk.

Konversi energi biomassa dengan fermentasi dinilai lebih sederhana dan memiliki efisiensi tinggi dibanding teknik gasifikasi, maupun konversi melalui pembakaran, misalnya. Konversi dengan proses gasifikasi sesungguhnya adalah proses pirolisa sekunder dimana karena panas yang tinggi (lebih dari 600 C) biomassa terurai dan direduksi menjadi gas CO, serta beberapa jenis gas lainnya. Tujuan konversi ini adalah menghasilkan gas CO (karbon monoksida) yang kemudian digunakan sebagai bahan bakar motor yang dihubungkan dengan generator pembangkit tenaga listrik. Energi listrik yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti penerangan, pemanasan/pendinginan atau penggunaan lainnya.
Sementara itu, pembakaran adalah konversi klasik dimana biomassa menjadi energi panas pembakaran, dalam hal ini biomassa digunakan sebagai bahan bakar pada bentuk aslinya. Energi panas yang dihasilkan selain dapat langsung dimanfaatkan juga dapat diubah menjadi bentuk energi lain (energi listrik, energi mekanis, pendinginan) dengan mempergunakan jalur konversi yang lebih panjang.

Kesimpulannya, makin panjang jalur konversi yang ditempuh, maka makin kecil effisiensi konversi biomassa tersebut menjadi energi. Hal ini disebabkan tiap tahap konversi mempunyai effisiensi kurang dari 100 %.  Sebagai contoh, konversi biomassa menjadi energi panas dengan cara pembakaran langsung tungku dapat mencapai effisiensi lebih kurang 40 %. Tetapi konversi biomassa menjadi energi listrik melalui proses konversi gasifikasi hanya dapat mencapai effisiensi lebih kurang 17 %. (Sumber ; Sri Endah A, IPB)
Dalam konteks keadaan negara Indonesia yang dihadapkan pada masalah besaran subsidi dari APBN ( energi dan pupuk), sementara lain memiliki kemelimpahan biomassa, memerlukan teknik pembangkitan energi dan pupuk dari bahan biomassa secara efisien dan mudah dilaksanakan. Salah satu strategi pengurangan beban subsidi tanpa menaikan harga BBM atau mengurangi subsidi negara adalah dengan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), salah satunya, membangun instalasi Biogas, Bio Elektrik dan Pupuk. Dengan biogas dimurnikan, selanjutnya menjadi bahan bakar menghidupkan generator yang khusus dirancang untuk itu.  

Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM) digunakan sebagai instalasi pembangkitan energi untuk mengganti gas LPG, energi listrik dan limbahnya digunakan sebagai pupuk organik. Material biomas (dari tumbuhan hidup dan baru mati), material yang berasal dari hewan dan tumbuh ada di semua wilayah merupakan bahan utama untuk instalasi mini PLTBM ini. Dengan ikhtiar pemanfaatan biomassa inilah terdapat harapan menurunkan subsidi negara pada pupuk dan energi tanpa membebani masyarakat (*)