Meski Indonesia mengembangkan sektor Industri, sektor pertanian tidak dapat dikesampingkan. Jumlah penduduk yang semakin membeludak (kini mencapai 237 juta jiwa) membutuhkan usaha peningkatan produksi hasil pangan yang signifikan pula. Ketergantungan masyarakat kepada sektor pertanian tidak dapat dihindari. Sedikit saja guncangan di sektor pertanian, masyarakat bisa sangat terpengaruhi.
Upaya peningkatan hasil pertanian secara ekstensifikasi relatif lebih banyak hambatan, terlebih lahan pertanian yang kian sempit. Satu-satunya cara adalah melalui intensifikasi. Pemupukan adalah cara termudah dari sekian cara yang bisa digunakan dalam intensifikasi pertanian. Cara ini bahkan sudah digunakan sejak lama dan hingga kini jenisnya terus dikembangkan.
Tren kebutuhan pupuk yang kian meningkat perlu dibarengi dengan produksi pupuk yang memadai sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia atau APPI melansir, produksi pupuk urea diproyeksikan akan mencapai 7,137 juta ton pada tahun 2011 atau naik 6 persen dari angka tahun lalu yang sebanyak 6,6 juta ton. Kebutuhan pupuk urea pada 2011 diproyeksi 5,1 juta ton. Selain itu, produksi pupuk NPK juga diproyeksikan akan mencapai 2,805 juta ton pada 2011. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi produksi pada 2010 yakni 7,3 juta ton. Sementara produksi pupuk SP diproyeksikan mencapai 580.000 ton dan pupuk ZA 750.000 ton pada 2011.
Pupuk dapat dibagi menjadi pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal adalah pupuk yang hanya mengandung satu jenis unsur hara. Biasanya berupa unsur hara makro primer, misalnya urea CO(NH2)2 yang hanya mengandung unsur hara nitrogen, TSP hanya mengandung unsur hara fosfor (P), dan KCl yang hanya mengandung unsur kalium (K). Sementara pupuk majemuk adalah pupuk yang mengandung lebih dari satu jenis unsur hara. Pemakaian pupuk majemuk saat ini sudah sangat luas. Berbagai merek, kualitas, dan komposisi kimia telah tersedia di pasaran. Hampir semua pupuk majemuk bersifat asam, kecuali yang telah mendapatkan perlakuan khusus, seperti penambahan Ca dan Mg.
Sejak 1996, Pilot Plan Pemanfaatan Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira), yang berlokasi di Citatah Padalarang, sudah mulai mengaplikasikan hasil penelitian pupuk majemuk ke dalam skala pilot plan. Dengan harapan akan dihasilkan pupuk alternatif untuk menanggulangi kelangkaan pupuk di masa yang akan datang.
Pupuk majemuk yang belum dikenal oleh masyarakat luas sebagai pupuk alternatif, bahan dasarnya dapat diperoleh dari batuan fosfat, dolomit, dan belerang. Sementara unsur hara nitrogen (N) diambil dari urea dan kalium (K) diambil dari KCl. Fosfat alam merupakan salah satu mineral yang mengandung unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman.
Lebih dari 90 persen produk fosfat digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk, baik sebagai pupuk buatan maupun pupuk alam, demikian juga unsur hara dari batuan dolomit yang merupakan senyawa rangkap antara karbonat dari kalsium dan magnesium. Kedua mineral ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan pupuk majemuk.
Batuan fosfat dan dolomit tersebut apabila direaksikan dengan asam sulfat (H2SO4) akan menghasilkan pupuk anorganik (pupuk majemuk) yang mengandung beberapa unsur hara. Pupuk yang relatif murah adalah pupuk dengan bahan baku utamanya antara lain fosfat dan dolomit dalam negeri. Kondisi ini sangat menguntungkan karena penggunaan bahan baku mineral dalam negeri dapat mengembangkan industri dalam negeri (Suhala dan Arifin, 1997).
Keunggulan dari pupuk majemuk berbasis mineral ini antara lain bahan baku mineral fosfat, dolomit, dan belerang mudah didapat. Proses pembuatannya juga relatif mudah. Secara garis besar prosesnya melalui tahapan sebagai berikut; batuan fosfat dan dolomit terlebih dahulu dipreparasi dengan Jaw Crusher, kemudian digerus dengan ball mill selama 15 menit. Pengayakan dilakukan dengan ayakan dengan ukuran tertentu kemudian dicampurkan lalu disaring setelah proses penyaringan kemudian dikeringkan lalu ditambahkan NH4 dan KCl.
Hasil uji pemanfaatan yang dilakukan Balitsa didapat bahwa tanaman yang produksinya lebih baik jika diberi pupuk majemuk dibandingkan dengan pupuk oplosan adalah tanaman tomat dan kubis.
Keunggulan pupuk majemuk berbasis mineral adalah dari segi keekonomian, sebab biaya produksi pupuk majemuk berbasis mineral ini jauh lebih murah dibandingkan dengan pembuatan pupuk oplosan. Dengan beberapa kelebihan yang dimiliki oleh pupuk majemuk, pupuk ini bisa dijadikan alternatif. Terlebih jika kebutuhan pupuk terus meningkat.***