HARI KELUARGA NASIONAL 29 Juni
Menuju Keluarga Berkualitas
Keluarga, merupakan bagian (komunitas) terkecil dari masyarakat. Tapi dari keluarga yang baik akan muncul pula masyarakat yang baik dan berkualitas. Baik di sini maksudnya dari segi rohani dan jasmaninya. Karena sangat pentingnya peran sebuah keluarga dalam masyarakat maka pemerintah sejak tahun 1994, tepatnya tanggal 29 Juni memperingati hari keluarga secara nasional. Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) oleh pemerintah diadakan untuk mengajak seluruh keluarga Indonesia agar melakukan introspeksi dan berbenah diri guna berbuat yang terbaik bagi keluarganya.
Sedangkan aktivitasnya difokuskan pada kegiatan dari, oleh, dan untuk keluarga dengan dukungan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ini dimaksudkan agar setiap keluarga tergerak berbuat baik demi kepentingan keluarga serta memiliki kepedulian terhadap keluarga yang lain, terutama keluarga rentan atau kurang beruntung.
Latar belakang pemilihan tanggal dan bulan untuk memperingati Hari Keluarga ini mengandung unsur sejarah. Pada tanggal 22 Juni 1949 di Yogyakarta telah tersepakati adanya gencatan Senjata antara Pemerintah RI dengan Belanda, berarti pula kembalinya Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan RI. Selama enam hari, 24-29 Juni, proses penarikan tentara penjajah dari bumi Yogyakarta berlangsung tanggal 29 Juni, kota gudeg resmi telah dikosongkan oleh bala tentara Belanda. Dan pada saat itulah tentara RI yang semula bergerilya siap masuk kembali ke kota Yogyakarta untuk berkumpul kembali dengan keluarga masing-masing.
Selain itu, pertimbangan penetapan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional berdasarkan peristiwa sejarah penting lainnya. Pada 29 Juni tahun 1970, Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya melantik Dewan Pembimbing KB yang terdiri dari para menteri dengan tugas memberikan petunjuk tentang kebijakan keluarga berencana. Saat itu pula, secara resmi Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pertama dilantik, yang pejabatnya adalah dr Soewardjono Soerjaningrat.
Peringatan Hari Keluarga Nasional I 1994 dipusatkan di Sidoarjo, Jawa Timur, Harganas II 1995 di Sleman, Yogyakarta; Harganas III 1996 di Muara Enim, Sumatera Selatan; Harganas IV 1997 di Binjai, Sumatera Utara; Harganas V 1998 tidak terselenggara karena terjadi kerusuhan Mei; Harganas VI 1999 di Jakarta; Harganas VI 2000 di Jakarta; Harganas VIII 2001 di Jakarta; Harganas IX 2002 di Gorontalo; Harganas X 2003 di Lumajang, Jawa Timur. Harganas XI 2004 di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Kondisi Keluarga di Indonesia
Dampak krisis moneter yang mengakibatkan terjadinya krisis multi dimensi menghadirkan berbagai fenomena baru bias reformasi, seperti konflik sosial dan horisontal antar masyarakat dalam berbagai bentuk yang mengikis secara perlahan tetapi pasti kekuatan karakter bangsa yang seharusnya menjadi jati diri handal di dalam pembangunan dan kesetaraan global. Carut marutnya keluarga Indonesia tampak pada semakin melemah dan tidak dianutnya aspek-aspek ketahanan di dalam keluarga, seperti agama, pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, kesehatan, dan lingkungan.
Kondisi keluarga Indonesia juga tercermin dari kesimpulan diskusi panel terbatas Harian Kompas (5/8/2003) yang menyebutkan bahwa nyaris seluruh elemen bangsa — para elite dan masyarakat — sudah mengidap infantilisme, psikopati yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk mengadakan hubungan afektif normal dan selalu menjadi problem bagi yang lain. Tidaklah mengherankan bila masalah-masalah krusial saat ini — kematian ibu, kematian anak, angka kelahiran, narkoba, HIV/AIDS, pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan berbagai masalah ketahanan keluarga lainnya menjadi perhatian bangsa ini.
Hari Kasih Sayang Keluarga
Sejak tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 15 Mei sebagai Hari Keluarga (International Family Day). Itu berarti, Indonesia sudah dua tahun lebih dahulu mencanangkannya. Peringatan Hari Keluarga Internasional ini dicanangkan PBB sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman (negara, pembuat kebijakan atau orang-orang yang berminat) mengenai masalah-masalah yang dihadapi keluarga dan meningkatkan kemampuan semua bangsa untuk mengatasi masalah-masalah keluarga melalui kebijakan yang menyeluruh.
Pertemuan tingkat menteri tentang keluarga (East Asia Ministerial Forum of Families) yang diselenggarakan pada 28-30 April 2004 di Hanoi — pertemuan ini diikuti oleh para menteri dan pejabat tinggi negara-negara dari 12 negara, yaitu : Commonwealth Australia, Brunei Darussalam, Republik Rakyat Cina, Kerajaan Cambodia, Republik Indonesia, Republik Demokrasi Rakyat Laos, Persatuan Myanmar, Republik Pilipina, Republik Singapore, Kerajaan Thailand dan Republik Sosialis Vietnam — telah mengeluarkan Hanoi Statement untuk kerjasama regional dalam penanganan keluarga.
Rekomendasi tersebut bertujuan menggarisbawahi pentingnya anak dalam keluarga; menetapkan dan menyebarluaskan pro-keluarga dan kebijakan yang berorientasi kepada keluarga untuk meningkatkan ketahanan keluarga; memantapkan pentingnya kebijakan pemerintah yang holistik sehingga dapat memperkuat kebijakan nasional dalam menangani keluarga; mengembangkan indikator nasional dan memperkuat mekanisme untuk pemantauan kesejahteraan keluarga; serta memperkuat kapasitas bangsa untuk melaksanakan rencana aksi nasional dengan memperluas strategi kemitraan dan kerjasama antarbangsa-bangsa di lingkungan Asia Timur.
Seiring dengan perjalanan waktu, sejumlah harapan bermunculan sehubungan dengan Hari Keluarga Nasional. Ada yang berharap dijadikan hari libur nasional sehingga semua anggota keluarga di Indonesia dapat berkumpul bersama untuk merayakannya. Muncul pemikiran, peringatannya diwarnai oleh berbagai lomba ketahanan keluarga dan sekaligus ajang silaturahmi, khususnya dari keluarga yang lebih beruntung kepada keluarga yang kurang beruntung di wilayah RT-nya.
Usulan-usulan yang lain termasuk mengupayakan berbagai sumbangan masyarakat untuk keluarga yang kurang mampu; memberi kesempatan rekreasi atau hiburan kepada keluarga yang kurang mampu; melakukan pertemuan-pertemuan atau perayaan bagi calon pengantin, peringatan Kawin Perunggu, Kawin Perak, Kawin Emas, dan Kawin Intan. Selain itu, partisipasi dunia usaha dalam bentuk pemberian potongan harga, Pekan Hari Keluarga Nasional di mal dan supermarket, pemberian bea siswa bagi anak akseptor KB dari keluarga miskin, dan sebagainya.
Sesungguhnya, ide memperingati Hari Keluarga Nasional adalah pemikiran yang sangat bagus. Rekayasa positif yang berada di balik ini semua agar masyarakat sadar bahwa keluarga merupakan basis dimulainya kehidupan bermasyarakat. Tempat di mana pertama kali mendapat pangan, sandang, kasih sayang, pendidikan, perlindungan, nilai-nilai luhur, budaya, agama, pengetahuan dan sebagainya. Dengan merayakan Hari Keluarga Nasional, setiap keluarga dan orang Indonesia selalu diingatkan betapa pentingnya arti sebuah keluarga di dalam kehidupan seseorang, yang juga menjadi cerminan bangsa dan negara.
Sayangnya, Hari Keluarga Nasional nampaknya kalah dalam bobot makna dan semangatnya ketimbang hari-hari peringatan lain, baik nasional maupun internasional seperti Valentine Day, dan sebagainya. Padahal, dalam memperingatinya, Pemerintah berharap kasih sayang tercermin di dalam kehidupan berkeluarga dan juga dengan sesama keluarga lainnya. Atas dasar itu, tergagas agar Hari Keluarga Nasional menjadi Hari Kasih Sayang Keluarga. Akankah hal itu terwujud?
Mudah-mudahan dengan adanya hari keluarga nasional ini proses pemberdayaan masyarakat menuju sebuah era baru “Keluarga Berkualitas” melalui pemberdayaan ketahanan keluarga dibarengi dengan penanaman nilai-nilai kehidupan berbangsa sejak dini dapat terwujud. Dengan demikian, aktualisasi potensi dan peran keluarga sebagai komunitas terkecil di dalam masyarakat dalam konstalasi pembangunan nasional akan menjadi kenyataan.
Sumber : Suara Karya Online