Harganas Dan Revolusi Gaya Hidup Keluarga

Dua belas tahun sudah gagasan adanya hari keluarga Indonesia, dalam bentuk upacara peringatan Harganas- yang hampir senantiasa dibuka Presiden RI. Harganas telah menjadi seremoni tahunan, Peringatan Hari Keluarga Nasional I 1994 dipusatkan di Sidoarjo, Jawa Timur, Harganas II 1995 di Sleman, Yogyakarta; Harganas III 1996 di Muara Enim, Sumatera Selatan; Harganas IV 1997 di Binjai, Sumatera Utara; Harganas V 1998 tidak terselenggara karena terjadi kerusuhan Mei; Harganas VI 1999 di Jakarta; Harganas VI 2000 di Jakarta; Harganas VIII 2001 di Jakarta; Harganas IX 2002 di Gorontalo; Harganas X 2003 di Lumajang, Jawa Timur. Harganas XI 2004 di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Namun pernahkah kita berfikir tentang manfaat dan fungsi dari peringatan Hari Keluarga- Harganas- atau Family Day Indonesia tersebut ? Apa kaitannya dengan perbaikan keluarga
Indonesia menuju hidup keluarga berkualitas ?

Ketika penulis hidup di Munchen Bavaria Jerman , sebagai orang Indon yang memiliki keterbatasan uang, hampir selalu di setiap akhir pekan mengunjungi Flohmarkt ( pasar barang bekas keluarga Jerman). Jangan dibayangkan dulu kalau pasar itu itu suatu bangunan megah dan luas dengan pedagang aneka barang yang banyak ragam dan jumlah satuannya- sebagaimana suatu pasar barang bekas di Jl. Surabaya Jakarta maupun pasar loak di Jatayu Andir Bandung. Pasar Loak keluarga Jerman ( flohmarkt) itu hanyalah ajang dagang keluarga di tenda-tenda yang dibangun spontan dan sederhana, gampang dibongkar kembali, dan semua barang serta perlengkapan dagang dapat dibawa dengan kendaraan pribadi sekalipun. Dan jangan kaget kalau yang diperdagangkan adalah barang yang tidak diperlukan lagi oleh suatu keluarga kemudian diperluajbelikan – tanpa perantara pedagang sebagaimana umumnya di Indonesia. Pedagangnya adalah anggota keluarga masing-masing, yang berjualan secara bergantian antara ayah-ibu dan anak, dan tentunya dengan itu berharga murah. Mungkin anda bertanya, apakah orang Jerman itu karena miskin ? Jawabannya bukan! Karena, kalau mereka miskin, toch disana ada jaminan sosial yang memadai buat hidup mendapatkan basic need ( kebutuhan dasar) satu keluarga. Ternyata, fungsinya pasar spontan tersebut adalah menjalankan konsep ReUse (Gunakan kembali)-Reduce ( Kurangi Sampah) dan Recycle (Daur Ulang) akan potensi sampah dari barang bekas suatu keluarga. Dilihat dari kepentingan penataan kota, tentu saja dengan adanya Flohmarkt itu bermanfaat mengurangi beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dari logam bekas, mainan anak bekas, TV Bekas, baju bekas, alat rumah tangga bekas dan aneka barang -yang dikatagorikan suatu keluarga sebagai barang bekas namun sebenarnya “barang baru” bagi keluarga lainnya. Bukankah banyak barang di rumah kita yang seringkali tidak berguna lagi – katakanlah mainan anak- padahal kita seringkali bingung membuangnya ? Disimpan juga hanya membuat penuh rumah, tapi dibuang sayang, bukan ?
Keluarga Indonesia yang kaya dan mampu mungkin enggan melakukannya? mungkin fikirnya:” kasihkan saja sama orang lain atau mudahnya buang ! Ngapain repot-repot !” 
Dari satu sisi, jika benar-benar ia memberikannya, bisa dianggap baik sikap demikian. Namun jangan lupa dari kebiasaan tersebut ada harga mahal yang harus dibayar adalah soal gengsi dan hilangnya harga diri. Penerima barang gratis akan merasa tidak memiliki harga diri – dan sebaliknya, penjual barang bekas keluarga akan merasa juga tidak nyaman- merasa sayang memberikannya. Dari terkikisnya harga diri tersebut, lambat laun, terciptalah kondisi sosial dan nilai anutan baru yang melembaga bahwa, menerima dan meminta-minta adalah jalan pintas akan segala keperluan atau bahkan menjadi mata pencaharian. Maka pemandangan anak jalanan di persimpangan jalan serta pengemis menjadi biasa pula.
Seremoni Harganas hendaklah menyentuh subtansi persoalan masyarakat – yang pemecahannya justru di level terkecil- yakni keluarga. Membangun sikap hidup percaya diri dan menghilangkan ketergantungan, dengan memupuk kemampuan menjual hasil karya anggota keluarga perlu difasilitasi; membangun kesadaran akan peran keluarga sebagai penyumbang sampah terbesar kepada TPA perlu dibangun menanamkan ReUse- Reduce & Recycle tadi; Memenuhi sebagian kebutuhan keluarga dari tanaman pekarangan di halaman sekitar rumah perlu dibudayakan dengan meningkatkan kemampuan menanam tanaman obat, tanaman sayuran dan bahan konsumsi lainnya serta membiasakan mengkonsumsi obatan herbal dan makanan non – instan hasil karya keluarga.
 
Pendek kata, persoalan sosial anak jalanan, penambahan keluarga miskin, masalah Tempat Pembuangan Akhir Sampah di banyak kota, penurunan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatnya kenakalan remaja maupun keterlibatannya pada Narkoba akan bermuara pada penyelesaian di tingkat keluarga.
Maka dari itu, Asosiasi UPPKS (AKU) Jawa Barat seringkali berusaha memfasilitasi adanya ajang dagang antar keluarga. Di sela Raker organisasi, Musyawarah dan aneka event selalu ditampilkan anggota UPPKS untuk berjualan. Memang masih kecil dan belum bergaung, karena keterbatasan fasilitas dan lokasi strategis yang disediakan pemerintah kota- yang bisa digunakan tanpa biaya bagi Arena Dagang Keluarga semacam ini.
Nah, jika pemerintah Kota di semua Kota Kabupaten di Indonesia diberi informasi alur berfikir ini, tidak mustahil akan dengan “sukarela” menyediakan arena di tengah keramaian lalu lalang pengunjung suatu kota. Dengan event ” one day market”, di setiap akhir pekan, bisa kita tumbuhkan minat keluarga menjadi penjual dan atau pembeli. Bukankah ini rekreasi sehat sekaligus pembelajaran anak dan anggota keluarga akan arti uang, martabat, harga diri, survival, kesulitan hidup, keakraban dan ……………………………….silaturahmi sosial. Mari atuh ……………kita buat ajang dagang keluarga – yang memberi fasilitas transaksi jual beli barang hasil dan milik suatu keluarga kepada keluarga lainnya- dalam suatu Hari Keluarga di berbagai level komunitas. Mungkinkah dimulai di Harganas XIII Bandung ??? Sok atuh…………………………(****)