Kamis, 25/10/2007 18:56 WIB
BBM Industri Akan DinaikanHarga Produk Komponen Manufaktur Naik 17%
JAKARTA – Kalangan pelaku industri mesin dan logam memprediksi produk pengolahan mesin dan logam seperti komponen manufaktur naik sebesar 17 persen. Hal menyusul rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) industri sebesar Rp200 per liter, pada November mendatang.
“Kenaikan 17 persen akibat borosnya penggunaan energi pada mesin-mesin yang digunakan di industri dalam negeri dibandingkan negara-negara maju seperti Jepang,” kata ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengerjaan Mesin dan Logam (Gamma) A Safiun di Jakarta, Kamis (25/10/2007).
BBM Industri Akan DinaikanHarga Produk Komponen Manufaktur Naik 17%
JAKARTA – Kalangan pelaku industri mesin dan logam memprediksi produk pengolahan mesin dan logam seperti komponen manufaktur naik sebesar 17 persen. Hal menyusul rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) industri sebesar Rp200 per liter, pada November mendatang.
“Kenaikan 17 persen akibat borosnya penggunaan energi pada mesin-mesin yang digunakan di industri dalam negeri dibandingkan negara-negara maju seperti Jepang,” kata ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengerjaan Mesin dan Logam (Gamma) A Safiun di Jakarta, Kamis (25/10/2007).
Selama ini, lanjut dia, sektor industri manufaktur Indonesia dikenal boros dalam penggunaan energi. Akibatnya, produk komponen manufaktur akan lebih mahal 17 persen dibandingkan produk dari negara lain. Hal ini disebabkan kondisi permesinan yang sudah tergolong tua dan penggunaan tenaga listrik lebih besar. Hal ini diperburuk dengan tingkat ketelitian mesin-mesin dalam negeri yang kurang maksimal. “Kita produksi 100, 1 atau 2 persen rejection akhirnya produk yang dihasilkan lebih mahal,” katanya.
Selain berpengaruh terhadap harga jual produk komponen manufaktur, Safiun mengatakan, kenaikan BBM industri akan berdampak signifikan terhadap penurunan daya saing industri dalam negeri di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
“Kalau bahan baku akibat kenaikan harga minyak dunia naik, maka Indonesia akan menjual produk lebih mahal daripada negara lain. Itu akan menyulitkan daya saing kita,” kata Safiun.
Menurut Safiun, besarnya biaya energi dalam struktur biaya produksi pada industri mesin dan logam dapat mencapai 12 – 15 persen. Namun tegas dia, perhitungan itu hanya mencakup proses pengolahan produksi. “Itu baru ongkos produksi, jangan lupa masih ada biaya transportasi yang akan naik 5 – 10 persen,” cetusnya.
Menyikapi melambungnya harga minyak mentah dunia, Safiun memprediksi akan terjadi tren kenaikan hingga menembus angka USD100 per barel. “Ramalan-ramalan yang ada menunjukkan itu. Trennya bukan menurun,” terangnya.
Menyikapi melambungnya harga minyak mentah dunia, Safiun memprediksi akan terjadi tren kenaikan hingga menembus angka USD100 per barel. “Ramalan-ramalan yang ada menunjukkan itu. Trennya bukan menurun,” terangnya.
Hal ini jelas Safiun, diakibatkan suplai minyak dunia yang terbatas, sementara konsumsi terus bertambah. “Penggunaan BBM di negara-negara maju meningkat, ditambah lagi ketegangan di sejumlah negara penghasil minyak seperti Irak dan Iran,” papar Safiun.
Terpisah Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat meminta pemerintah untuk menghitung secara proposional mengenai rencana kenaikan harga BBM industri. “Jangan buru-buru menetapkan kenaikan karena pasti akan ada dampaknya pada industri kita,” tuturnya.
Peningkatan biaya produksi yang dipicu kenaikan biaya energi, ujarnya, akan mengakibatkan merosotnya daya saing Indonesia di pasar global. “Kalau saya boleh berharap, kenaikan harga BBM industri tidak perlu terjadi,” ucapnya.
Peningkatan biaya produksi yang dipicu kenaikan biaya energi, ujarnya, akan mengakibatkan merosotnya daya saing Indonesia di pasar global. “Kalau saya boleh berharap, kenaikan harga BBM industri tidak perlu terjadi,” ucapnya.
Sementara Pertamina menyatakan, kenaikan BBM industri masih dalam perhitungan sementara. Rencana tersebut turut dipengaruhi pergerakan harga minyak mentah dunia yang sempat menembus USD90 per barel. Angka itu kemudian turun hingga posisi USD85 per barel. Namun, pada perdagangan di Asia, Kamis 25 Oktober pagi, harga minyak mentah kembali melonjak hingga USD87 per barel. (whisnu bagus/sindo/mbs)