Oleh DEWI “DEE” LESTARI
SATU pagi saya pergi ke Tani Sugih, toko alat pertanian di Jalan Pasteur. Gara-garanya, saya membaca pamflet mesin pengolah sampah yang mencantumkan toko itu sebagai retailer. Saya pikir, inilah kesempatan untuk menjadi warga Bandung yang baik, yang berusaha proaktif menangani masalah sampah yang semakin tidak masuk akal ini.
Penjaga toko itu menggelengkan kepala ketika saya menanyakan keberadaan mesin pengolah sampah. Tidak ada, katanya. Tidak pernah jual. Lalu saya menanyakan wadah untuk pengomposan. Tidak ada juga, katanya. Lalu saya menanyakan toko sejenis lainnya di Bandung Raya ini. Tidak ada yang lain, katanya lagi. Dia lalu menunjukkan iklan produsen alat-alat tani di majalah Trubus, semua beralamatkan di Bogor.
Spontan saya berujar, “Yang punya masalah sampah kan Bandung, kok yang jualan malah Bogor?” Respons yang saya dapat berikutnya adalah senyum asam.
Pulanglah saya gemas dan penasaran. Target saya hari itu adalah berburu info tentang kompos. Perburuan diawali lewat internet dengan kata kunci antara lain: pengolahan-sampah-wadah-kompos. Membanjirlah puluhan ribu artikel. Dalam satu hari, excitement saya pada kompos berubah menjadi exhaustion. Lelah mata, dan lelah hati, karena ternyata sudah sangat banyak orang yang peduli, punya ide, punya metode, tapi dalam keseharian tidak saya rasakan gaung itu. Tidak di jalan – yang masih berhiaskan sampah di sana-sini. Tidak juga di media massa – tenggelam dalam berita politik, kriminal, bencana, dan gosip artis. Tidak juga di toko Tani Sugih.
Saya jadi berpikir, apa yang salah? Mengapa masalah sampah, meski tercium bau busuknya, kita pelototi gunungannya, kita gerutukan setiap hari, tetap tidak cukup untuk mengubah prioritas kita – monster konsumtif yang cuma tahu beli, pakai, buang, tanpa berpikir semua itu akan menikam kita balik dengan timbunan kebusukan. Kita terus berlindung di balik ketidakacuhan, di balik truk kuning yang akan mengangkut sampah kita ke satu tempat yang tak terlihat.
Untungnya satu nama keluar. Saya temukan perusahaan di Jalan Pungkur yang menjual wadah pengomposan. SATU. Dengan kata kunci “composting bins” saya menemukan ratusan produsen di luar negeri yang memproduksi barang sama dengan aneka warna dan model elegan. Bukti bahwa Indonesia memang tertinggal tiga abad dalam masalah penanganan sampah. Land-filling adalah metode buang sampah Eropa abad 18. Hari ini, masyarakat Eropa sudah punya aneka pilihan composting bin yang lucu-lucu. Bandung, setidaknya hasil perburuan saya, hanya punya satu. Sisanya adalah land-filling yang sudah putus asa dan tak tahu malu.
Kota Bandung pada ulang tahunnya mengadakan lomba merangkai bunga. Saya curiga yang punya ide mabuk halusinogen dan merasa Bandung ini masih Kota Kembang, atau terjebak di mesin waktu lalu mendarat di Parijs Van Java. Kenapa bukannya mengadakan lomba mendesain wadah pengomposan? Atau lomba pengolahan sampah? Tidakkah itu lebih realistis dan berguna? Supaya kita punya banyak sarana dan pilihan untuk berbuat sesuatu, supaya yang tinggal di rumah susun maupun rumah ala Victorian bisa menyesuaikan composting bin dengan kemampuan dan selera estetika masing-masing. Dan yang lebih penting lagi, masyarakat tahu bahwa pemerintah kota ini berupaya mencerdaskan mereka, dan bukan malah mendua dengan rangkaian bunga di satu sisi dan gunung sampah di sisi lain.
Sulit untuk menyerukan cinta lingkungan apabila kita, siapa pun dan apa pun jabatan kita, tidak melaksanakan apa yang kita imbau sendiri. Sebaliknya, akan lebih mudah bagi masyarakat jika para pimpinan mereka maju dan mencontohkan bagaimana cara mengolah sampah di rumahnya terlebih dulu.
Seharian itu saya lalu berkhayal. Bandung betulan jadi bermartabat. Mengakui kesalahannya, lalu memperbaikinya. Kota ini bukan cuma jadi tempat orang Jakarta menghabiskan uang di factory outlet. Kota ini diacak-acak bukan hanya demi sekotak brownies kukus atau pisang keju. Namun kota ini menghasilkan produk-produk ekologis yang praktis dan terpakai oleh seluruh lapisan masyarakat. Karena meski overdosis toko baju, kota ini masih punya harta sesungguhnya: seniman-seniman yang jenius dan kreatif, para pemikir dari ITB, LIPI, Unpad, dsb.
Untuk beban moral sepotong artikel ini saja, saya harus melakukan perburuan sengit, dan akhirnya mendaftarkan diri ikut pelatihan membuat kompos. Saya pun tersadar, untuk menjadi warga yang baik, seringnya bukan kemudahan dan insentif yang didapat, melainkan usaha yang ekstra keras.
Tapi apakah itu setimpal? Saya pikir, iya.
Perbuatan konkretlah yang menjadikan seseorang, atau sebuah kota, bermartabat. Bukan slogan. Bukan jumlah gedung mewah. Bukan jajanan lezat. Suka tak suka, sampah telah menawarkan pilihan pada Bandung: membusuk bersamanya di jalan raya, atau bermetamorfosa menjadi kompos di perut Bumi Pertiwi.***
Penulis, artis dan novelis.