Potensi Ekonomi Sampah Rp 562,5 Juta Per Hari
Beberapa Asosiasi Sepakat Perangi Sampah
BANDUNG, (PR).-Beberapa asosiasi pengusaha, asosiasi profesi, dan LSM sepakat untuk mendirikan Jaringan Posko Hijau (JPH), sebagai gerakan untuk menggalang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah secara baik dan benar.
Demikian salah satu pemikiran dalam deklarasi pendirian JPH yang di antaranya didukung Asosiasi Pupuk Kecil Menengah Indonesia (APPKMI) Jabar, Asosiasi Konsultan Non Konstruksi Indonesia (Askindo), Asosiasi Kelompok UUPKS (AKU) Jabar, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Bandung, dan Forum RW Kota Bandung.
“JPH ini merupakan kelanjutan dari Gerakan Darurat Penanganan Sampah Kota (GDPSK) yang didirikan 22 Februari 2005, tepat sehari setelah terjadinya bencana longsor di TPA Leuwigajah. Namanya kita ubah karena tujuannya lebih luas,” ujar inisiator pendirian GDPSK dan JPH, Sonson Garsoni, usai penandatanganan deklarasi JPH, akhir pekan lalu.
Menurut dia, dalam setahun terakhir ini lewat berbagai sosialisasi mengenai pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, GDPSK telah berhasil mendorong pembentukan 22 instalasi pengelolaan sampah kota (IPSK) di tingkat komunal/RW, 500 di tingkat RT, dan 30 IPSK di lingkungan industri.
“Pengelolaan sampah ini memang harus berjalan secara simultan di tiap-tiap level pengolahan. Pengelolaan di rumah tangga, komunal, industri, dan TPA, pembenahannya harus dilakukan bersama. Ini memerlukan tingkat teknologi yang berbeda-beda,” katanya.
Menyinggung potensi ekonomis dari sampah, Sonson optimis jika pengolahan bisa dilakukan secara simultan di tiap-tiap level, bisa meningkatkan perekonomian secara signifikan. “Misalnya jika semua sampah di Kota Bandung, Kab. Bandung, Kota Cimahi (Bandung Raya) diarahkan pengolahannya menjadi kompos, paling tidak akan memunculkan bisnis baru senilai Rp 450 juta per hari,” katanya.
Bernilai tinggi
Dijelaskan, jumlah sampah di Bandung Raya kurang lebih 15.000 m3,, jika diasumsikan separuhnya merupakan sampah organik (berdasarkan penelitian sampah di Indonesia 74% organik-red), maka akan didapat 7.500 m3 bahan kompos.
Jika jumlah 7.500 m3 sampah organik diolah menjadi kompos, paling tidak 30% bisa menjadi kompos atau setara dengan 2.250.000 kg. Jika dijual dengan harga AKU (asosiasi kelompok usaha UPPKS), lembaga yang penampungan kompos dari sampah perkotaan, yang bersedia membeli Rp 250,00/kg berarti akan didapat Rp 562,5 juta per hari.
“Jika langsung dijual ke pasar umum nilainya bisa lebih tinggi lagi, karena harga pasarannya saat ini Rp 500,00 – Rp 600,00/kg. Di beberapa tempat malah bisa Rp 1.000,00/kg. Tapi ke mana pun menjualnya, yang terpenting sampah bisa dieliminasi. Dengan demikian, Bandung lautan sampah tidak terulang lagi,” katanya.
Sementara Ketua HKTI Kota Bandung, H.M. Hardi Maksud, mengatakan untuk bisa melancarkan gerakan komposisasi sampah di masyarakat, diperlukan adanya upaya untuk perubahan paradigma berpikir untuk sampah. Selain upaya sosialisasi dan edukasi, juga diperlukan adanya dukungan regulasi dari pemerintah, sehingga upaya perubahan tersebut memiliki kerangka yang jelas. (A-135)***