Kapanlagi.com – Pengusaha dan produsen pupuk Jawa Barat mencoba mentawarkan pupuk terpadu hemat biaya produksi kepada para petani melalui pemerintah daerah di wilayahnya sebagai alternatif membantu petani tidak hanya dalam meringankan biaya produksi, tetapi juga meningkatkan produksi padinya.
“Sebenarnya petani selama ini memakai pupuk dengan pola yang tidak tepat, karena pupuk yang diterapkan tidak mengindahkan spesifik lokasi, padahal karakter tanah di tiap daerah berbeda-beda,” kata Direktur Produksi dan Teknologi PT Saribumi Dewata lestari Dr Zuhdi Sriwibowo M.Sc di Bandung, Rabu (24/11).
Oleh sebab itu, kata dia, karena pemakaian pupuk dengan pola yang tidak tepat, hasil padi yang dihasilkan sedikit dan tidak sesuai dengan luas lahan, sementara biaya yang dikeluarkan relatif besar karena tidak menerapkan pupuk yang berimbang.
Ia mengakui di pasaran selama ini sudah banyak jenis dan merek pupuk yang diperjualkan, bahkan sejumlah negara tengah gencar mengeskpor pupuk ke Indonesia, namun pupuk-pupuk yang dipasarkan tersebut belum bisa menawarkan pola pemupukan yang tepat karena masih tidak mengindahkan pemupukan spesifik lokasi yang sebenarnya mutlak dilakukan. Produsen pupuk terbesar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti pupuk Kaltim, juga masih memproduksi pupuk yang tidak spesifik lokasi, yang memperhitungkan tingkat kesuburan dan hara tanah, ujarnya.
Sehubungan dengan pupuk yang beredar di pasaran tergolong pola yang tidak tepat, pihaknya mencoba memproduksi pupuk dengan pola terpadu, yang komposisinya dipadu antara pupuk anorganik, pupuk organik dan pupuk kandang, kemudian disesuaikan dengan karakter tanah di tiap daerah.
Ia menambahkan, penggunaan pupuk dengan pola spesifik lokasi dipastikan dapat meningkatkan angka produksi padi. Dari rata-rata 4 ton/ha, dapat ditingkatkan minimal sebanyak 3 ton/ha atau menjadi 7 ton/ha.
Selain dari sisi kuantitas, penggunaan pupuk spesifik lokasi juga dapat meningkatkan kualitas. Beras yang dihasilkan dengan pola pemupukan tak berimbang rata-rata broken (kadar kepecahan) 15%. Padahal dengan pola pupuk spesifik lokasi, kadar kepecahannya bisa mencapai 5%. Sehingga, harga jual di pasarannya bisa lebih tinggi.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Konsultan Non-Konstruksi Indonesia (Askindo) Jawa Barat Ir Sonson Garsoni, mengatakan, untuk memperkenalkan pupuk terpadu tersebut, pihaknya akan mencoba mensosialisasikan ke beberapa kabupaten di Jawa Barat, yang diprioritaskan pada kabupaten yang bupatinya peduli terhadap sektor pertanian.
“Kita coba dahulu menawarkan kepada kabupaten/kota yang peduli terhadap sektor pertanian seperti Bupati Cianjur, Ciamis dan Garut, agar sosialisasi yang dilakukan dapat diterima dan dipahaminya,” kata Sonson yang juga Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Kecil menengah Indonesia (APPKMI).
“Upaya itu bisa membantu pertanian sehingga potensi pertanian di daerah dapat dikembangkan. Ini juga bisa menciptakan efisiensi dan meningkatkan daya saing produk pertanian daerah bersangkutan, ujarnya.
Untuk menerapkan pupuk terpadu tersebut, dalam memproduksinya harus dibuat pabrik di lokasi yang bersangkutan dengan biaya tidak lebih dari Rp10 miliar, yang dapat difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota dengan memakai dana-dana seperti menjual obligasi misalnya, kata Sonson seraya menambahkan pupuk tersebut akan disampaikan kepada Menteri Pertanian untuk dapat ditindaklanjuti. (*/lpk)
“Sebenarnya petani selama ini memakai pupuk dengan pola yang tidak tepat, karena pupuk yang diterapkan tidak mengindahkan spesifik lokasi, padahal karakter tanah di tiap daerah berbeda-beda,” kata Direktur Produksi dan Teknologi PT Saribumi Dewata lestari Dr Zuhdi Sriwibowo M.Sc di Bandung, Rabu (24/11).
Oleh sebab itu, kata dia, karena pemakaian pupuk dengan pola yang tidak tepat, hasil padi yang dihasilkan sedikit dan tidak sesuai dengan luas lahan, sementara biaya yang dikeluarkan relatif besar karena tidak menerapkan pupuk yang berimbang.
Ia mengakui di pasaran selama ini sudah banyak jenis dan merek pupuk yang diperjualkan, bahkan sejumlah negara tengah gencar mengeskpor pupuk ke Indonesia, namun pupuk-pupuk yang dipasarkan tersebut belum bisa menawarkan pola pemupukan yang tepat karena masih tidak mengindahkan pemupukan spesifik lokasi yang sebenarnya mutlak dilakukan. Produsen pupuk terbesar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti pupuk Kaltim, juga masih memproduksi pupuk yang tidak spesifik lokasi, yang memperhitungkan tingkat kesuburan dan hara tanah, ujarnya.
Sehubungan dengan pupuk yang beredar di pasaran tergolong pola yang tidak tepat, pihaknya mencoba memproduksi pupuk dengan pola terpadu, yang komposisinya dipadu antara pupuk anorganik, pupuk organik dan pupuk kandang, kemudian disesuaikan dengan karakter tanah di tiap daerah.
Ia menambahkan, penggunaan pupuk dengan pola spesifik lokasi dipastikan dapat meningkatkan angka produksi padi. Dari rata-rata 4 ton/ha, dapat ditingkatkan minimal sebanyak 3 ton/ha atau menjadi 7 ton/ha.
Selain dari sisi kuantitas, penggunaan pupuk spesifik lokasi juga dapat meningkatkan kualitas. Beras yang dihasilkan dengan pola pemupukan tak berimbang rata-rata broken (kadar kepecahan) 15%. Padahal dengan pola pupuk spesifik lokasi, kadar kepecahannya bisa mencapai 5%. Sehingga, harga jual di pasarannya bisa lebih tinggi.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Konsultan Non-Konstruksi Indonesia (Askindo) Jawa Barat Ir Sonson Garsoni, mengatakan, untuk memperkenalkan pupuk terpadu tersebut, pihaknya akan mencoba mensosialisasikan ke beberapa kabupaten di Jawa Barat, yang diprioritaskan pada kabupaten yang bupatinya peduli terhadap sektor pertanian.
“Kita coba dahulu menawarkan kepada kabupaten/kota yang peduli terhadap sektor pertanian seperti Bupati Cianjur, Ciamis dan Garut, agar sosialisasi yang dilakukan dapat diterima dan dipahaminya,” kata Sonson yang juga Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Kecil menengah Indonesia (APPKMI).
“Upaya itu bisa membantu pertanian sehingga potensi pertanian di daerah dapat dikembangkan. Ini juga bisa menciptakan efisiensi dan meningkatkan daya saing produk pertanian daerah bersangkutan, ujarnya.
Untuk menerapkan pupuk terpadu tersebut, dalam memproduksinya harus dibuat pabrik di lokasi yang bersangkutan dengan biaya tidak lebih dari Rp10 miliar, yang dapat difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota dengan memakai dana-dana seperti menjual obligasi misalnya, kata Sonson seraya menambahkan pupuk tersebut akan disampaikan kepada Menteri Pertanian untuk dapat ditindaklanjuti. (*/lpk)