BANDUNG, (PR).-Tak adanya Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mutu kompos, membuat industri kompos nasional sulit untuk berkembang. Karena tanpa adanya keseragaman mutu, industri kompos sulit memerluas pasar.
“Kondisi tanpa SNI ini, dimanfaatkan sejumlah kalangan untuk memproduksi kompos kualitas sangat rendah, yang sebenarnya merugikan industri kompos secara keseluruhan,” ujar Ketua APPKMI (Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia) Jabar, Ir. Sonson Garsoni, saat ditemui di kantornya, di Jln. Pungkur, Bandung, Selasa (30/3).
Dikatakan, saat ini banyak kompos yang tak jelas mutunya, dijual eceran dengan harga yang relatif murah. Malah bekali-kali pernah ditemuinya, kemasan berisi tanah gembur yang berwarna kehitaman, dijual sebagai kompos. Kondisi tersebut jelas akan merugikan kepentingan pembuat kompos yang serius, karena pasarnya terus dipersempit oleh kompos-kompos tak jelas.
“Masa ada kompos dijual Rp 250,00/kg saja. Padahal untuk memproduksi kompos yang berkualitas paling rendah saja, paling tidak HPP (harga pokok penjualan) di tingkat produsennya sekira Rp 400,00/kg,” katanya.
Menurutnya pembuatan kompos tidak bisa dilakukan begitu saja. Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki kompos, agar tidak merugikan masyarakat penggunanya. Di antaranya adalah masalah kadar kandungan logam berat seperti arsenikum (Ar), air raksa (Hg), seng (Zn), dan nikel yang menentukan jenis peruntukan komposnya agar tidak membahayakan konsumen.
“Kalau kompos yang dibuat pihak Perhutani sih tak perlu merisaukan kandungan logam berat, karena dibuat untuk perkebunan kayu. Tetapi untuk kebun tanaman-tanaman yang dikonsumsi, jelas harus memiliki kandungan logam berat yang rendah. Dan ini tidak perlu menjadi masalah jika kita mempunyai SNI kompos,” katanya.
Permintaan sedang naik
Menurut Sonson, pembuatan SNI tidak hanya untuk menjamin kepentingan konsumen, namun juga bisa mendorong pembukaan pasar kompos yang lebih luas. Apalagi belakangan ini permintaan kompos, menunjukkan grafik yang terus meningkat.
“Asal tahu saja, kompos Indonesia sekarang ini sudah ada yang sampai ke Ghana, Afrika. Volumenya juga lumayan, mencapai 12.000 ton untuk jangka waktu empat bulan,” katanya.
Diakuinya, pasar ekspor produk kompos Indonesia, baru ke beberapa negara saja. Di antaranya ke Singapura untuk keperluan pembuatan lapangan golf, dan Ghana untuk perkebunan kapas. Namun jika SNI kompos dibuat, dia optimis akan lebih banyak buyer asing yang berminat.
Sementara untuk pasar dalam negeri, menurutnya peluang untuk usaha kompos sangat bagus. Selain minat masyarakat terhadap kompos yang meningkat, juga bisa dijual ke PT Pusri yang saat ini sedang ada program pembelian kompos dari masyarakat. Selain itu juga ada insentif dari program Bank Dunia, bagi kompos yang menggunakan bahan baku sampah kota.
“Jika bahan bakunya sampah kota, Bank Dunia memberi subsidi Rp 200,00-Rp 350,00 untuk setiap kompos yang dibuat. Program tersebut dibuat untuk 60.000 ton kompos, dan kapasitas produksi yang ada saat ini baru separuhnya saja,” katanya.
Menyinggung upaya APPKMI menyiasati ketiadaan SNI, Sonson mengatakan pihaknya kemungkinan akan melakukan langkah darurat. Yaitu dengan menggunakan standar internasional yang direkomendasikan International Vertilizer Association (IVA). “Kita sedang merancang itu. Supaya bisa kita gunakan, sementara SNI kompos belum ada juga,” tegasnya. (B.40)***
** Sumber: Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung **
“Kondisi tanpa SNI ini, dimanfaatkan sejumlah kalangan untuk memproduksi kompos kualitas sangat rendah, yang sebenarnya merugikan industri kompos secara keseluruhan,” ujar Ketua APPKMI (Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia) Jabar, Ir. Sonson Garsoni, saat ditemui di kantornya, di Jln. Pungkur, Bandung, Selasa (30/3).
Dikatakan, saat ini banyak kompos yang tak jelas mutunya, dijual eceran dengan harga yang relatif murah. Malah bekali-kali pernah ditemuinya, kemasan berisi tanah gembur yang berwarna kehitaman, dijual sebagai kompos. Kondisi tersebut jelas akan merugikan kepentingan pembuat kompos yang serius, karena pasarnya terus dipersempit oleh kompos-kompos tak jelas.
“Masa ada kompos dijual Rp 250,00/kg saja. Padahal untuk memproduksi kompos yang berkualitas paling rendah saja, paling tidak HPP (harga pokok penjualan) di tingkat produsennya sekira Rp 400,00/kg,” katanya.
Menurutnya pembuatan kompos tidak bisa dilakukan begitu saja. Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki kompos, agar tidak merugikan masyarakat penggunanya. Di antaranya adalah masalah kadar kandungan logam berat seperti arsenikum (Ar), air raksa (Hg), seng (Zn), dan nikel yang menentukan jenis peruntukan komposnya agar tidak membahayakan konsumen.
“Kalau kompos yang dibuat pihak Perhutani sih tak perlu merisaukan kandungan logam berat, karena dibuat untuk perkebunan kayu. Tetapi untuk kebun tanaman-tanaman yang dikonsumsi, jelas harus memiliki kandungan logam berat yang rendah. Dan ini tidak perlu menjadi masalah jika kita mempunyai SNI kompos,” katanya.
Permintaan sedang naik
Menurut Sonson, pembuatan SNI tidak hanya untuk menjamin kepentingan konsumen, namun juga bisa mendorong pembukaan pasar kompos yang lebih luas. Apalagi belakangan ini permintaan kompos, menunjukkan grafik yang terus meningkat.
“Asal tahu saja, kompos Indonesia sekarang ini sudah ada yang sampai ke Ghana, Afrika. Volumenya juga lumayan, mencapai 12.000 ton untuk jangka waktu empat bulan,” katanya.
Diakuinya, pasar ekspor produk kompos Indonesia, baru ke beberapa negara saja. Di antaranya ke Singapura untuk keperluan pembuatan lapangan golf, dan Ghana untuk perkebunan kapas. Namun jika SNI kompos dibuat, dia optimis akan lebih banyak buyer asing yang berminat.
Sementara untuk pasar dalam negeri, menurutnya peluang untuk usaha kompos sangat bagus. Selain minat masyarakat terhadap kompos yang meningkat, juga bisa dijual ke PT Pusri yang saat ini sedang ada program pembelian kompos dari masyarakat. Selain itu juga ada insentif dari program Bank Dunia, bagi kompos yang menggunakan bahan baku sampah kota.
“Jika bahan bakunya sampah kota, Bank Dunia memberi subsidi Rp 200,00-Rp 350,00 untuk setiap kompos yang dibuat. Program tersebut dibuat untuk 60.000 ton kompos, dan kapasitas produksi yang ada saat ini baru separuhnya saja,” katanya.
Menyinggung upaya APPKMI menyiasati ketiadaan SNI, Sonson mengatakan pihaknya kemungkinan akan melakukan langkah darurat. Yaitu dengan menggunakan standar internasional yang direkomendasikan International Vertilizer Association (IVA). “Kita sedang merancang itu. Supaya bisa kita gunakan, sementara SNI kompos belum ada juga,” tegasnya. (B.40)***
** Sumber: Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung **