Burung Betet “Bunuh” Usaha Mikro & Kecil Dengan Isyu Formalin

Pemberitaan dengan gencarnya isyu penggunaan formalin pada bahan makanan seperti ikan asin, tahu dan mie basah- terasa sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap usaha kecil dan mikro. Betapa tidak, berita tersebut tidak secara jelas menyebutkan alamat dan oknum pengusaha maupun pabrik-pabrik yang menggunakan formalin maka seolah-olah hanya membuat ragu para konsumen membeli bahan makanan di pasar tradisional atau yang notabene dibuat usaha kecil dan mikro. Belum lagi selesai dengan soal ‘Flue burung- yang menurunkan penjualan para pedagang ayam, isyu ‘anthrak’ – yang membunuh para peternak sapi lokal, isyu formalin dan bahkan daging tikus digunakan baso seolah menuntaskan pembunuhan tersebut.

Hasilnya dapat dibayangkan seberapa besar peralihan belanja konsumen ke hasil industri mie instan hasil konglomerat- yang terkesan higienes, beralih ke daging di resto instant dari pengusaha besar yang berafiliasi ( mendapat lisensi ) atau hak franchisse dari perusahaan Amerika, beralih ke daging-daging impor maupun ke tahu-tahu ( tofu) buatan Jepang.
Bisakah berita itu berisi dengan jelas pabrik si A ditangkap Polisi karena menggunakan Formalin sehingga menjadi jelas produk mana saja yang akan ‘dihukum’ konsumen dan bukan ‘gebyah uyah’ seperti sekarang ini ??
Perang isyu di negara liberal seperti Indonesia bisa saja dilakukan ketika suatu perusahaan pemegang pangsa besar suatu artikel merasa terancam dengan penurunan penjualan akibat turunnya daya beli konsumen. Dibantu dengan media massa- yang tidak memiliki pemihakan- maka dengan mudah melemparkan berita – seolah-olah semua usaha tahu, ikan asin, mie basah, baso dan aneka bahan makanan tersebut menggunakan formalin berbahaya dan bahkan daging tikus. Rasanya tidak ada lagi etika Pers untuk menulis berita dengan menggunakan etika dan kaidah 4 W+ 1 H= Siapa, Kapan, Dimana, Apa dan Bagaimana suatu usaha kecil dan mikro melakukan tindakan pengelabuan konsumen. Sensasi oleh para burung betet – yang tukang omong menirukan suara manusia’ memang membuat rating media akan meningkat, dan dengan alasan sumber berita adalah hak eklusif Pers maka membuat kesan semua usaha mikro melanggar dan melakukan pengelabuan konsumen tidak terasa sebagai fitnah. Tapi pembunuhan usaha mikro dan kecil dengan isyu sensasional tersebut jauh lebih kejam dari membunuh secara jantan dan sportif menggunakan senjata.

Bukankah ada UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821)yang akan menindaknya? Mengapa itu bukan dijadikan ‘delik umum’ sebagaimana hukum yang berlaku ? Tanpa ada pengaduan pihak tertentu bisa diambil tindakan hukum oleh yang berwajib dan silahkan kemudian beritakan seluasnya oknum pelaku mana saja yang berbuat mengelabui konsumen. Demikian juga beritakan oknum pengusaha mana saja yang melakukan pelanggaran dan serta instansi mana – yang bertugas mengawasi- telah lalai melakukan fungsi pengawasannya. Bukankah………………………??? Bukankah……………………….? Usaha Kecil dan Mikro itu yang justru harus kita jadikan ‘tuan rumah’ di negeri-nya sendiri? Tapi Kapan………………………………………………………….dong?