Cara Pengelolaan Sampah Menjadi Kompos di kawasan pabrik PT. Pupuk Kaltim, Tbk

TPS Pupuk Kaltim Hasilkan 30 Ton Kompos Tiap Bulan

Ada yang unik di PT Pupuk Kaltim. Sebagai salah satu penghasil urea terbesar di Indonesia, yaitu memproduksi urea sekitar 2,98 juta ton per tahun, untuk memelihara dan menghijaukan tanaman di lingkungannya, selama ini PKT ternyata sama sekali tidak pernah menggunakan pupuk urea. 

Masalah sampah sebenarnya justru berpotensi ekonomi, itu seandainya dikelola dengan baik,. Di kawasan PT Pupuk Kaltim (PKT) misalnya, barangkali bisa dijadikan contoh. Sejak tahun 1990-an, sampah domestik sebanyak 20 m3 yang dihasilkannya telah ditangani dengan sangat baik. Tiap bulan, Tempat Pengolahan Sampah (TPS) yang dimilikinya menghasilkan belasan ton kompos. 

Sejak pekan lalu, dengan adanya penambahan 17 unit Composter, TPS milik PKT kini dapat menghasilkan 30-an ton kompos tiap bulan. Ada peningkatan 100 persen dari sebelumnya. Dengan tenaga kerja sebanyak 13 orang, dengan harga Rp2.000,- per kilogram misalnya, setidaknya Rp60 juta bisa diraup tiap bulan. Suatu peluang bisnis yang menggiurkan tentunya. 

Padahal, di sejumlah kota, sampah nyaris selalu saja menjadi sumber masalah. Di samping seringkali menimbulkan bau tak sedap, sumber berbagai penyakit, juga soal keterbatasan lahan TPS, nyaris selalu tak terpisahkan dari masalah sampah. 

Di Kalimantan Timur, PKT barangkali telah menjadi pionir dalam pengolahan sampah menjadi kompos ini. Sejak Centre for Pulicy and Implementation Study (CPIS), sebuah LSM lingkungan di Jakarta, merintis dan memprakarsai, serta menggelar pelatihan tentang pengolahan sampah organik menjadi kompos, manajemen PKT langsung mengikutsertakan beberapa stafnya untuk mengikuti pelatihan tersebut. 

Sejak itu, sampah domestik, baik dari pabrik, anak perusahaan, perumahan BTN PKT maupun dari Perumuhan PC VI, semuanya diolah menjadi kompos. Sebuah bangunan yang cukup apik, berukuran 25 X 35 meter, sejak itu juga langsung didirikan. 

“Dengan adanya tambahan alat yang disebut Composter sebanyak 17 unit, kini TPS PKT dapat menghasilkan kompos sebanyak sekitar 30 ton per bulan,” ujar Kabid Pengelolaan Kawasan (Lolasan), Departemen Pelayanan Umum Pupuk Kaltim, Marsidik Suhariyanto, didampingi staf Bidang Pelestarian Lingkungan (PL), Poltak H. Sitinjak. 

Menurut Marsidik, dengan adanya 17 unit composter, maka waktu pematangan kompos menjadi lebih cepat. Penanganannya juga lebih sederhana, tak memerlukan banyak tenaga dan tidak ribet. Semula, kata Marsidik, masa pematangan kompos setidaknya memerlukan waktu 35 – 40 hari. Itu pun, ujar dia, untuk pematangan komposnya, tumpukan sampahnya harus dibolak-balik secara rutin, untuk mencegah naiknya temperatur sampah. Dengan adanya tambahan alat composter, ujar Marsidik, masa pemanenan kompos hanya memerlukan waktu 5 – 9 hari saja. Itu sudah termasuk pendinginan kompos selama dua hari. 

“Dengan tambahan alat composter, rata-rata dalam waktu seminggu, kompos sudah jadi dan matang,” ujar Marsidik. Menurutnya, memang ada sesuatu yang unik di PKT. Sebagai salah satu penghasil urea terbesar di Indonesia, yaitu memproduksi urea sekitar 2,98 juta ton per tahun, untuk memelihara dan menghijaukan tanaman di lingkungannya, selama ini PKT ternyata sama sekali tidak pernah menggunakan pupuk urea. 

Menurut Marsidik, baik untuk pemeliharaan tanaman taman, pohon pelindung dan untuk pembibitan, serta kebutuhan untuk menyuburkan tanaman di lingkungan perkantoran dan perumahan dinas PC VI, maupun Lapang Golf Bukit Sintuk, sejak puluhan tahun yang lalu, semuanya hanya menggunakan pupuk kompos.
“Penggunaan pupuk kompos ini, memang sangat baik,” ujar Marsidik. Di samping dapat menyuburkan tanaman, dengan adanya kompos, unsur hara tanah juga dapat diperbaiki. 

Di tempat yang sama, Poltak H. Sitinjak menjelaskan cara kerja composter. Alat berbentuk silinder dan tiap hari secara hidrolik harus diputar selama 15 menit, itu berkapasitas satu ton sampah organik. Nantinya, kalau sudah menjadi kompos, menurut Poltak lagi, setidaknya bisa menghasilkan 400 kg kompos. Sebelum composter diisi sampah dan ditutup rapat, tambah Poltak, lebih dulu harus dipercik air sebanyak 20 liter yang telah dicampur delapan sendok makan activator, sehingga proses pembuatan kompos menjadi lebih cepat.

“Dengan adanya composter ini, di samping pembuatan kompos menjadi lebih cepat dan simpel, juga bisa menghemat tempat,” ujar Poltak H. Sitinjak. Menurutnya, tumpukan-tumpukan sampah organik yang telah dipotong-potong oleh alat pencacah, langsung dimasukkan ke composter. Dengan adanya alat pencacah, praktis, ranting-ranting kayu, rumput dan daun-daun yang lebar, serta kertas bekas dan lainnya, ukurannya menjadi kecil-kecil seperti serbuk. 

“Karena itu, kompos yang dihasilkan juga tak perlu lagi diayak, karena sudah lembut,” kata Poltak. Ia mengakui, sebelum memiliki composter, kompos yang dihasilkan memang masih kasar, sehingga agar siap digunakan, sebelumnya harus diayak lebih dulu. Cara pengelolaan sampah menjadi kompos di kawasan pabrik PT.Pupuk Kaltim, Tbk kini menjadi perhatian banyak pihak.

Poltak menambahkan, karena pengelolaannya yang bagus, TPA yang ia koordinir itu seringkali menjadi tempat studi banding, baik dari Kaltim sendiri, misalnya Samarinda, Tenggarong, Sangatta, juga dari Jakarta. (Mudjib Utomo)

http://www.pupukkaltim.com/ina/news/index.php?act=news_detail&p_id=1182