Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia (APPKMI) Sonson Garsoni mengatakan, dualisme harga pupuk tetap akan menimbulkan tindakan menyimpang di pasar. Misalnya, pupuk urea bersubsidi dijual lebih mahal ke perkebunan atau industri oleh distributor ataupun petani nakal.
“Distribusi tertutup belum menjamin apakah pelaku pasar tidak tergoda oleh kondisi dualisme harga ini, apalagi pengawasan di lapangan sangat susah. Akibatnya, kelangkaan pupuk masih akan terjadi pada saat musim tanam,” ujar Sonson, Senin (27/3).
Harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi adalah Rp 1.050, namun dalam praktiknya petani masih membeli pupuk urea seharga Rp 1.200- 1.400 per kilogram. Harganya jauh lebih murah jika dibanding dijual ke perkebunan dan industri yang mencapai Rp 2.500 per kilogram, dan diekspor dengan harga Rp 1.650 per kilogram.
Kelemahan lain yang muncul dari distribusi tertutup ini adalah permintaan pupuk harus diajukan berdasarkan kelompok tani, padahal tidak semua petani tergabung dalam bentuk kelembagaan. Bahkan, kelembagaan membutuhkan biaya yang tidak murah karena harus mengeluarkan anggaran untuk pengawasan distribusi pupuk.
Tidak dinikmati
Hal serupa dikatakan Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Prof Maman Haeruman. Menurut dia, pupuk bersubsidi memang memberikan pupuk dengan harga murah. Namun, harga murah itu tidak akan dinikmati oleh petani di daerah pelosok yang minim infrastruktur jalan.
Data lahan fiktif yang diberikan petani, tambah Maman, sering digunakan untuk penyalahgunaan pendistribusian pupuk bersubsidi. Sebab, makin luas lahan pertanian petani, pupuk yang diperoleh akan lebih banyak, dan yang dijual lagi juga makin banyak sehingga pupuk pun langka di pasaran.
Produksi pupuk urea di Indonesia mencapai 5,6 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan pupuk urea setahun hanya 4,5 juta ton. Melihat kapasitas produksi itu, kata Sonson, kelangkaan pupuk seharusnya tidak akan pernah terjadi.
Untuk mengatasi kelangkaan pupuk urea, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengubah pola pemupukan dengan pemupukan berimbang. (D09)