Memupuk Uang Dari Sampah

PROFIL
No. 48, Tahun X, 4 September 2006
Memupuk Uang dari Sampah
Kisah Sonson mengembangkan mesin pembuat kompos

Bermula dari usaha produksi pupuk dan alat pertanian, Sonson Garsoni terjun ke bisnis pembuatan mesin dan bahan pengolah sampah. Alat buatannya sudah ekspor ke Malaysia dan Brunei.
Siapa, sih, yang mau dekat-dekat dengan pembuangan sampah akhir kota besar seperti pembuangan Jakarta dan Bandung? Di sana cuma ada lautan lalat serta bau yang menyengat. Namun, Sonson Garsoni memiliki pemikiran lain. Ia justru mencium aroma laba dari tengah kerumunan sampah. Sonson mulai menggarap potensi sampah di lingkup keluarga dan lingkungan kecil.

Sonson sebelumnya berbisnis di bidang produksi dan penjualan pupuk tablet. Gagasan untuk banting setir ke sampah muncul dari ledakan TPA Leuwigajah. Sejak itu, dia mencetuskan ide menangani sampah dari skala kecil. Caranya dengan mengajak warga membuat kompos. Program yang dinamai gerakan darurat penanganan sampah kota (GDPSK) ini dilakukan dengan menyebarkan alat dan teknologi sederhana pengolah sampah menjadi kompos. “Untuk sampah diperkotaan, perlu teknologi yang sederhana dan tak merepotkan,” ujar bapak tiga anak ini.

Untuk itu, Sonson dan timnya mendesain wahana pengolah sampah. Dengan alat ini, orang tak perlu lagi menyiapkan lahan luas untuk membuat lubang galian secara tradisional. Alat untuk skala rumahan berupa tong hasil daur ulang berkapasitas sampai 1 m3. Namanya komposter. Untuk skala yang lebih besar seperti lingkup kelurahan atau kecamatan, dibuat alat lebih besar yang dinamakan rotary klin yang punya kapasitas 3 m3. “Harga alatnya dari Rp 200.000 sampai Rp 15 juta per unit,”katanya.
Biar proses pengomposan tak mengganggu lingkungan, Sonson juga meramu bahan campuran untuk pengolahan. Dia membiakkan mikroorganisme yang mampu membuat sampah tak bau dan membuat mineral penggembur (bulking agent) untuk mempercepat proses perubahan sampah menjadi kompos. “Alat komposter bisa saja orang meniru, tapi bahan campuran pembuat kompos ini hanya kita yang bisa bikin,”ujarnya. Maka, Sonson tak khawatir kendati banyak orang memproduksi alat komposter. Soalnya, ia tetap bisa jualan bahan pencampurnya.
Untuk memperluas penggunaan komposter, Sonson menggandeng banyak lembaga untuk membiayai dan memodali penyebaran pengolahan sampah ini. Ada puluhan ribu orang dan usaha kecil yang telah memakai alat bikinan Sonson. “Gerakan membikin kompos ini masih terbilang dari bawah. Saya lihat pemerintah daerah tak banyak berperan,” tuturnya.
Upaya penyebarluasan teknologi pengolahan sampah perkotaan rupanya menarik minat banyak pihak. Termasuk perusahaan swasta di Malaysia dan Brunei. Mereka minta dikirim komposter dan bahan pembuat kompos. “Di negara tetangga, urusan pengelolaan sampah itu diserahkan ke swasta, beda dengan di sini,” ungkapnya.Lantaran urusannya B to B (swasta dengan swasta), kesepakatan bisnis dengan pengusaha negeri tetangga terbilang mulus.
Bisnis kompos yang menguntungkan
Juli lalu, misalnya, CV Sinar Kencana-perusahaan milik Sonsonsepakat dengan perusahaan Malaysia dan Brunei untuk memasok bahan kompos sebanyak 260 ton per bulan ke Kuala Lumpur dan 50 ton ke Brunei. Selain itu, mereka juga mendapat order untuk membuat mesin komposter sebanyak 1.000 unit, masing-masing senilai Rp 15 juta ke Malaysia dan 50 unit ke Brunei. “Dari hitungan mereka, bisnis ini sangat menguntungkan. Kalau harga kompos di sini Rp 1.500 per kg, di sana harganya bisa mencapai Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per kg,” ujarnya.
Belakangan, lantaran permintaan cukup besar, perusahaan di Malaysia malah meminta Sonson untuk membangun pabrik pembuat bahan kompos di sana. Melihat peluang yang terbuka lebar, Sonson bakal mengambil kesempatan itu. “Saya akan tetap menggandeng mitra lokal. Soalnya, di sana bisa dapat pinjaman bank dengan bunga rendah,” tuturnya. Kalau tak ada aral melintang, akhir tahun ini pabrik itu sudah bisa berdiri.
Sukses sebagai juragan mesin pembuat kompos, pundi-pundi yang dihasilkan dari bisnis ini semakin menumpuk. Pendapatan dari bisnis sampah malah melampaui bisnis utama yang selama sepuluh tahun terakhir digeluti Sonson. Yakni: pupuk tablet dengan merek Gramalet. Dengan latar belakang pendidikan industri pertanian dari Institut Pertanian Bogor, dari awal Sonson lebih banyak terjun ke bisnis pertanian.
Di luar itu, Sonson juga mengembangkan bisnis penjualan berbagai produk dengan merek sendiri. Sebagian besar merupakan hasil produksi usaha kecil dan menengah.”Saya merangkul mereka untuk membuat produk yang bisa diterima pasar,” katanya. Jaringan penjualannya tak cuma lewat distributor. Sonson juga gencar menawarkan produknya lewat internet. Sonson mengakui, penjualan produk lebih banyak lewat pemesanan langsung. “Tapi penawaran lewat internet tetap diperlukan supaya orang mengenal produk kita,” tambahnya. Beberapa produk yang dijual lewat internet antara lain AkuOke (camilan), Prima (herbal), BerSeka (beras dan produk kesehatan), NikNak (bumbu), Green Phoskko (pupuk kompos dan bahan pengolahnya), dan Kencana (kerajinan tangan).
Sonson mengaku bahwa laba bukanlah satu-satunya tujuan. Lewat bisnisnya, ia ingin mengangkat produk usaha kecil menengah yang sering susah untuk memasarkan produk mereka. “Sebenarnya, kalau diberi standar produk dan kualitas diawasi, produk mereka bisa diterima pasar,” katanya.
Kini, dengan seabrek bisnis yang digeluti sejak dua puluh tahun terakhir, omzet bisnis Sonson sekitar Rp 10 miliar per tahun. Ia berharap bisnis mesin pembuat kompos yang baru belakangan dilakoni bisa berkembang cepat. “Saya yakin, banyak orang yang butuh alat-alat seperti ini, khususnya di kota-kota besar,” katanya. Itu sebabnya, ia berencana mempromosikan komposter ke banyak kota lain.
+++++
Biasa Berbisnis sejak Kuliah
Tanggung jawab sebagai anak tertua dari enam bersaudara secara tak langsung membentuk mental bisnis Sonson Garsoni. Lahir sebagai anak seorang guru di Ciamis, sejak kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), Sonson sudah banyak menyambi. Mulai dari usaha fotokopi, jualan buku kuliah, sampai bisnis kaus oblong. Salah satu pemicunya adalah kebutuhan untuk membiayai kuliah secara mandiri.”Adik saya masih banyak. Jadi, saya harus bisa membantu orang tua,” kenangnya.
Selulus kuliah, tahun 1984, bersama seniornya seperti Soleh Solahudin, Hidayat Syarif, dan M. Lutfi, Sonson mendirikan Yayasan Agro Saintiani yang bergerak di bidang konsultan pertanian. Namun, usaha nirlaba itu bubar. Awal 1990, Sonson memulai bisnis dari awal dengan proyek pengadaan 10 juta bibit teh atas biaya Bank Pembangunan Asia (ADB). Untuk pengembangan bisnis, akhirnya dia memutuskan memindahkan usahanya dari Bogor ke Bandung.
Mulai 1994, Sonson terjun ke bisnis pupuk dan alat pertanian. Selain kebutuhan besar, Sonson juga menjajaki untuk mengembangkan pupuk tablet. Inovasi produk ini, pada 1995-2000 malah jadi program nasional. Tahun 2001, Sonson mendirikan CV Braga Niaga yang mempelopori kafe tenda di Bandung dan banyak kegiatan pameran.
Bagus Marsudi