Tweet
Sampah bukan untuk dibuang dan dilupakan begitu saja. Jika cermat memilah dan diproses melalui alat inovasi karya Sonson Garsoni, sampah akan menghasilkan pupuk, gas, dan bahan lain yang bermanfaat.
Hal terpenting bagi Sonson ialah bagaimana agar tempat pembuangan akhir sampah tidak menggunung, yang kemungkinan berbahaya bagi warga sekitar. Kini, berkat kepeduliannya terhadap persoalan sampah, Sonson sukses menjadi pengusaha alat pengolahan sampah yang sudah menembus pasar Asia Tenggara dan Eropa.
Simak kisah penerima penghargaan Dharma Karya Kencana Presiden RI tahun 2009 ini dalam membangun usaha serta pengabdiannya terhadap lingkungan. Apa harapan dan inovasi baru yang ingin dia wujudkan? Berikut penuturan pria kelahiran 1960 itu kepada KORAN SINDO.
Sejak kapan dan mengapa Anda terjun membuat usaha pengolahan sampah?
Pada 2005 terinspirasi oleh ledakan di pembuangan akhir sampah Leuwi Gajah, Bandung, kemudian mengenalkan kepada masyarakat alat untuk mengelola sampah organik di rumah yang disebut mesin komposit. Tahun 2009 kami melanjutkan teknologi pengelolaan sampah menjadi biogas bahan bakar yang bisa dijadikan pembangkit listrik. Tahun 2010-2011 kami mengenalkan teknologi pengelolaan sampah anorganik rumah, sampah kering seperti kayu dan turunannya. Sampah plastik menjadi energi atau bahan bakar minyak.
Semua itu didesain konfigurasi pada level kawasan sebab prinsip kami tidak mengelola sampah pada level pembuangan akhir. Kami mengenalkan konsep desentralisasi, pengelolaan sampai harus sedekat mungkin dengan sumber timbulnya sampah. Jadi satu kawasan desa, kawasan industri, kawasan pasar. Di setiap kawasan menghasilkan puluhan ton sampah setiap hari. Kalau selesai di lokasinya itu kan sangat memberi kontribusi untuk tidak adanya lalu lintas penarikan sampah ke TPA Bantar Gebang.
Bagaimana cara kerjanya?
Untuk yang organik, teknologi fermentasi akan menjadi biogas. Fermentasi ialah proses reaksi kedap tanpa oksigen, itu akan menjadi biogas dan residunya pupuk. Kalau yang anorganik menghasilkan energi panas. Kalau ingin digunakan untuk pemanasan boiler dalam skala besar atau sekadar dipanaskan, kami punya biolisis yang mengubah plastik menjadi minyak bakar.
Apa yang harus diperhatikan sebelum memulai pengolahan?
Terpenting harus bisa memilah sampah. Sampah terbagi menjadi empat, yaitu sampah plastik kemudian sampah kering misalnya daun kering, ranting, kain, kayu dan sejenisnya. Ketiga sampah organik seperti daun, rumput, sampah pasar atau sisa perdagangan sayur. Keempat sampah basah misalnya bekas makan atau limbah tahu. Masingmasing punya teknologinya, misalkan sampah plastik biolisis. Teknologi yang sudah terkenal di dunia plastik berubah jadi minyak, diubah lagi menjadi bentuk asalnya.
Dalam membuat alat pemrosesan sampah ini, Anda bekerja sama dengan siapa saja?
Kami sering melakukan kerja sama dengan LIPI, BNPT, perguruan tinggi seperti Universitas Padjadjaran, dan UGM. Saya juga ada tim yang rutin berdiskusi. Mereka ahli teknik, mesin, pertanian, dan biologi.
Tujuan Anda membuat alatalat ini?
Ikut memberi kontribusi pada penyelesaian masalah yang ada di masyarakat. Tergerak terlebih pada peristiwa di Leuwi Gajah. Saya sebagai orang yang mengetahui teknologi saat itu tahu bahwa sebenarnya semua material tersebut bisa dikonversi. Motif untuk lingkungan, tapi semakin lama ya akhirnya saya bisa hidup dari sini.
Sejak kapan alat-alat pengolahan sampah buatan Anda dilirik konsumen mancanegara?
Tahun 2009 sudah dikenal di Malaysia, pernah juga ekspor ke New Zealand. Mereka sudah melihat di website Kencana Online.
Siapa konsumen Anda selama ini?
Kebanyakan korporasi, terlebih yang memiliki masalah sampah misalnya Pertamina. Mereka memiliki karyawan ratusan orang atau memang sengaja untuk program CSR d suatu wilayah, bagi-bagi alat ini ke daerah yang membutuhkan.Kedua, perusahaan pertambangan untuk menyelesaikan sampah di daerah tambang. Ketiga pemerintah, dinas lingkungan, bahkan ESDM untuk di daerah- daerah. Buat anggaran lalu buat tender, kemudian mereka beli pada kami.
Misalnya sebuah kota membeli alat inovasi Anda ini, berarti membutuhkan berapa alat?
Tergantung berat yang dipilih, sesuai prinsip desentralisasi. Jadi yang terdekat dengan sumber. Misalnya bisa per kecamatan atau kelurahan, namun harus diperhatikan lahan yang memadai. Ini menjadi faktor penting yang harus diperhatikan ketika ingin menggunakan alat ini. Untuk alat yang memuat sampah 20 ton diperlukan 200 meter persegi. Kalau listrik dari hasil pengolahan sampah tersebut, jadi dia menggerakkan sendiri. Seperti di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) mandiri. Biogas dijadikan ke generator menghasilkan listrik, bukan untuk dijual lagi ke PLN, tapi untuk TPST itu menyelesaikan pengelolaan sampah.
Inovasi alat pengelolaan sampah ini sudah Anda patenkan?
Sudah sejak awal, tapi ada juga yang tidak dipatenkan, sengaja untuk ditiru masyarakat. Komposter yang untuk skala rumahan, gambar dan desainnya di-publish. Desain bisa dilihat juga di Kencana Online.
Apa harapan Anda dengan adanya inovasi ini untuk masyarakat Indonesia?
Masih banyak masyarakat yang tidak peduli terhadap sampah. Walaupun diberi alatnya oleh pemerintah belum tentu jalan. Bagaimana memotivasi masyarakat untuk bergerak sendiri, mungkin hasilnya harus lebih bernilai di mata mereka.
Inovasi apalagi yang akan Anda buat atau yang sekarang sedang Anda teliti?
Saya sedang melakukan riset mengubah plastik menjadi perekat bahan baku pasir, lalu jadi batako. Semoga ini cepat selesai. Hasilnya lumayan memiliki nilai dalam segi uang. Mungkin masyarakat dapat bergerak karena uangnya bisa dipakai bersama- sama. Misalnya untuk membuat gang dan jalan di desa.
Ananda nararya