EKONOMI & KEUANGAN PIKIRAN RAKYAT, 12 Juli 2006
Sistem Pengolahan Sampah Diminati Malaysia & Brunei
BANDUNG, (PR).-Sistem pengolahan sampah kota menjadi kompos (Composter) buatan Bandung, diminati Pemerintah Malaysia dan Brunei Darussalam. Beberapa perusahaan yang menjadi kontraktor kedua negara itu, telah menandatangani kontrak meng�impor berbagai komponen composter itu.
“Kita sudah menandatangani kontrak dengan perusahaan dari Brunei Darussalam dan Malaysia, yang memesan CompostActivator (mikrooragnisme) dan lainnya dengan proyeksi penjualan kurang lebih Rp 288 juta per bulan,” ujar Direktur Utama PT Cipta Visi Sinar Kencana (CVSK), Sonson Garsoni, usai Cooperative Fair di Lapangan Gasibu, Bandung, Selasa(11/7).
Dijelaskan, instrumen composter buatan Bandung tersebut, dipesan untuk menangani permasalahan sampah di kota Kuala lumpur dan beberapa kota di Brunei. Diharapkan dengan mengimpor mikroorganisme penghasil kompos dan peralatannya dari Bandung, bisa mereduksi permasalahan sampah di kota mereka.
“Baik mikroorganisme maupun berbagai peralatan composter lainnya, semuanya dibuat oleh industri kecil di Jabar ini. Adanya permintaan ekspor itu, karena kita pernah mengikuti pameran East Asean Growth Economic dan pameran lainnya di Malaysia dan Brunei,” katanya.
Dijelaskan, pihak CVSK di antaranya memproduksi composter untuk skala rumah tangga, dengan kapasitas 30 hingga 100 liter. Sedangkan untuk restoran dan hotel, dibuat khusus dengan kapasitas mencapai 3 meter kubik per setiap pengolahan. Untuk ekspor pada tahap awal, menurut Sonson pihaknya akan mengirimkan 1 buah kontainer dengan nilai Rp 55 juta ke masing-masing negara.
Setiap kontainer berisi 50 unit composter skala rumah tangga, dua unit skala hotel dan restoran, dan bahan baku berupa mikroorganisme dan mineral.
Menurut dia saat ini Wali Kota Kuala Lumpur dan pemerintah daerah di Brunei sudah memberi lampu hijau untuk ekspor composter tersebut. Sehingga dalam waktu dekat realisasi ekspor bisa segera dilakukan, apalagi semua aspek legal agar berbagai komponen composter tersebut bisa masuk ke Malaysia dan Brunei, sudah diurus oleh pihak pengimpor.
“Jumlah yang kami kirim ini, hanya sebagian kecil untuk kebutuhan Kuala Lumpur dan Brunei. Karena Kuala Lumpur saja, per harinya menghasilkan sampah 2.000 ton. Artinya peluang ekspor composter di kedua negara tersebut masih terbuka,” katanya seraya mengakui pemasaran composter di luar negeri, baru dilakukan di dua negara tersebut. Selama ini pemasaran masih dipusatkan di dalam negeri saja.
“Untuk Bandung dan sekitarnya, kami telah memasarkan 1.120 unit composter skala rumah tangga. Saat ini tercatat ada 22 titik pengolahan sampah menjadi kompos di Bandung, yang dilakukan oleh usaha kecil menengah,” katanya.
Ditambahkan, pengolahan sampah, kini telah menjadi peluang usaha bagi masyarakat. Namun diakuinya sebagai alternatif menambah penghasilan masyarakat belum begitu menarik, karena harga kompos di Indonesia masih terhitung rendah. “Di Bandung harga jual kompos paling tinggi Rp 1.000 ,00 per kg. Tapi di Brunei dan Malaysia, harganya bisa sampai sepuluh kali lipat. (A-135)***
“Kita sudah menandatangani kontrak dengan perusahaan dari Brunei Darussalam dan Malaysia, yang memesan CompostActivator (mikrooragnisme) dan lainnya dengan proyeksi penjualan kurang lebih Rp 288 juta per bulan,” ujar Direktur Utama PT Cipta Visi Sinar Kencana (CVSK), Sonson Garsoni, usai Cooperative Fair di Lapangan Gasibu, Bandung, Selasa(11/7).
Dijelaskan, instrumen composter buatan Bandung tersebut, dipesan untuk menangani permasalahan sampah di kota Kuala lumpur dan beberapa kota di Brunei. Diharapkan dengan mengimpor mikroorganisme penghasil kompos dan peralatannya dari Bandung, bisa mereduksi permasalahan sampah di kota mereka.
“Baik mikroorganisme maupun berbagai peralatan composter lainnya, semuanya dibuat oleh industri kecil di Jabar ini. Adanya permintaan ekspor itu, karena kita pernah mengikuti pameran East Asean Growth Economic dan pameran lainnya di Malaysia dan Brunei,” katanya.
Dijelaskan, pihak CVSK di antaranya memproduksi composter untuk skala rumah tangga, dengan kapasitas 30 hingga 100 liter. Sedangkan untuk restoran dan hotel, dibuat khusus dengan kapasitas mencapai 3 meter kubik per setiap pengolahan. Untuk ekspor pada tahap awal, menurut Sonson pihaknya akan mengirimkan 1 buah kontainer dengan nilai Rp 55 juta ke masing-masing negara.
Setiap kontainer berisi 50 unit composter skala rumah tangga, dua unit skala hotel dan restoran, dan bahan baku berupa mikroorganisme dan mineral.
Menurut dia saat ini Wali Kota Kuala Lumpur dan pemerintah daerah di Brunei sudah memberi lampu hijau untuk ekspor composter tersebut. Sehingga dalam waktu dekat realisasi ekspor bisa segera dilakukan, apalagi semua aspek legal agar berbagai komponen composter tersebut bisa masuk ke Malaysia dan Brunei, sudah diurus oleh pihak pengimpor.
“Jumlah yang kami kirim ini, hanya sebagian kecil untuk kebutuhan Kuala Lumpur dan Brunei. Karena Kuala Lumpur saja, per harinya menghasilkan sampah 2.000 ton. Artinya peluang ekspor composter di kedua negara tersebut masih terbuka,” katanya seraya mengakui pemasaran composter di luar negeri, baru dilakukan di dua negara tersebut. Selama ini pemasaran masih dipusatkan di dalam negeri saja.
“Untuk Bandung dan sekitarnya, kami telah memasarkan 1.120 unit composter skala rumah tangga. Saat ini tercatat ada 22 titik pengolahan sampah menjadi kompos di Bandung, yang dilakukan oleh usaha kecil menengah,” katanya.
Ditambahkan, pengolahan sampah, kini telah menjadi peluang usaha bagi masyarakat. Namun diakuinya sebagai alternatif menambah penghasilan masyarakat belum begitu menarik, karena harga kompos di Indonesia masih terhitung rendah. “Di Bandung harga jual kompos paling tinggi Rp 1.000 ,00 per kg. Tapi di Brunei dan Malaysia, harganya bisa sampai sepuluh kali lipat. (A-135)***