Mengikuti kontroversi atas rencana pengelolaan sampah berbasis teknologi ( PLTSa) kota Bandung, sejauh ini nampak diskursusnya lebih menitikberatkan pada analisa manfaat dan resiko atas pilihan berbagai jenis teknologi. Padahal, lebih besar dari itu, ruang lingkup layanan publik (public services) pemerintah dalam pengelolaan kebersihan kota, selain pengelolaan TPA, menyangkut pula berbagai aktivitas mulai pemungutan dari lokasi sumber timbulnya sampah, pengumpulan, dan pengangkutan, beserta penyediaan sarana dan prasarananya. Sekiranya, yang dimaksud pemerintah kota Bandung, pengelolaan sampah berbasis teknologi dengan mekanisme kerjasama badan usaha adalah terbatas pada pengelolaan di tempat pembuangan ( seperti halnya mengelola di TPA seperti saat ini), dan bukan keseluruhan aktivitas pengelolaan kebersihan kota maka, uji kelayakan kerjasama pemerintah dengan badan usaha dapat diukur oleh perbandingan antara besaran manfaat serta keluaran biaya, dibanding pola pembuangan sampah ke TPA sebagaimana berlangsung sebelumnya.
Persaingan berdasar mekanisme pasar akan terjadi, berbagai komponen masyarakat ( swasta, BUMN, LSM, koperasi) akan berlomba mengajukan lokasi pengelolaan beserta jenis teknologinya. Dan, pemerintah kota pun, tinggal melakukan pilihan kepada banyak pilihan pihak dan menetapkan kepada siapa saja yang dinilai memiliki kesanggupan dengan disertai bukti atas kemampuannya mengelola sampah tersebut. Model pengelolaan sampah berbasis komunitas, yakni dengan sebesar-besarnya menyertakan partisipasi masyarakat seperti diatas, akan memberikan keragaman bagi tumbuhnya aneka pilihan teknologi dan munculnya kearifan lokal, untuk semakin lama makin kompetitif. Dan, manfaat berikutnya, kota tidak memerlukan lagi tempat pembuangan (TPA) Sampah secara tersentralisasi, sebagaimana kini berlangsung dengan segala permasalahannya*)
Selanjutnya,
saya tidak berposisi untuk setuju atau tidak PLTSa, saya bukan ahlinya, namun saya melihat lebih pentingnya penetapan tipping fee itu berlaku secara adil bagi setiap pihak yang mau olah sampah kotanya. Masyarakat dpt berlomba, mengajukan kemampuan kapasitas olah yg didukung lokasi dan teknologi tertentu, bisa pltsa, dijadikan kompos, di buat biomassa padat, dll. Pemerintah harus menetapkan tippyng fee/ m3 atau ton berapa, pilihan teknologi diberi batas atas jenis yang ramah lingkungan , dll. Maka, suatu kota, kelak akan memiliki banyak lokasi, pengelola, dan teknologi berbeda. Pemerintah Kota, membayar tippyng fee kpd pengelola sebagai rekanan. Gitu aja kok repot, hehehehe
Nah dg menghargai kearifan lokal dan teknologi yang hidup di masyarakat dalam pengelolaan sampah, dan memang nyatanya banyak, tidak akan dipusingkan lagi oleh pengadaan TPA. Dan, itu akan menjadi peluang ekonomi luar biasa bagi masyarakat, pemerintah, kelak, jika sdh maju pengelola tersebut, dapat pajak….
Jadi bapak setuju juga dengan teknologi sampah dijadikan listrik atau adanya PLTSa ya ?