Aktivator Kompos |
Komposter van Bandung
Sederhana, murah, dan ramah lingkungan.
Koran Tempo, 19 Agustus 2006
Selalu ada hikmah di balik bencana. Hanya, tak semua orang bisa melihatnya. Begitu pula dengan yang terjadi pada 21 Februari tahun lalu ketika gunung sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, Bandung, mendadak longsor. Akibatnya, lebih dari 125 orang lebih tewas. Berbulan-bulan kemudian sampah menjadi masalah pelik bagi kota yang dijuluki Paris van Java ini. Bau busuk meruap di mana-mana dan membuat risi siapa saja.
Tapi tidak untuk Sonson Garsoni. Bencana sampah itu justru membuat adrenalin Sonson berpacu cepat. Otak bisnisnya yang sudah dipupuk sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor ini langsung berputar cepat. Sonson mulai memikirkan ide untuk mengatasi sampah dengan cara baru.
Model lama dengan membuang sampah di TPA terbukti hanya menimbulkan masalah. Tak hanya di Leuwigajah, tapi juga di Bantargebang, Bekasi. Dengan kesadaran lingkungan dan kenyamanan yang kian tinggi, masyarakat sering kali menolak daerahnya dijadikan lokasinya pembuangan.
Sonson mencoba memulainya dengan berdiskusi dengan para ahli di Institut Teknologi Bandung. Dari diskusi itu, Sonson bertekad membuat alat pengolah sampah menjadi kompos yang bisa dipakai di rumah-rumah atau lingkungan kecil, terutama di perkotaan tempat sampah kian menjadi masalah yang rumit seiring dengan jumlah penduduk yang makin besar.
Pada prinsipnya, kata Sonson, alat itu harus sederhana, murah, dan gampang diterima oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan kepentingan lingkungan hidup. Ukurannya pun tidak boleh terlalu besar dan tidak memerlukan tempat yang luas. Selama ini, kata Sonson, alat pengolah sampah berukuran besar, rumit, dan susah dioperasikan oleh masyarakat awam.
Pengolahan sampah ala Sonson dimulai dengan memisahkan dulu sampah organik–seperti sisa makanan dari makhluk hidup–dari sampah nonorganik, seperti sampah plastik, kaleng, atau kaca. Setelah dipisahkan, sampah organik baru diproses dengan mencampurkan dua aktivator, yaitu Green Phoskko Aktivator (GP-1) dan Green Phoskko Bulking Agent (GP-2).
Kedua aktivator ini, kata Sonson, merupakan konsorsium mikroba unggulan untuk mempercepat proses pengomposan, meningkatkan kualitas kompos, menghilangkan bau busuk, serta menekan pertumbuhan mikroba patogen. Sonson menyebut alat temuannya Biophosko Komposter. Untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dia pun membuatnya dalam empat tipe.
Tipe kecil dengan kapasitas 0,04 meter kubik atau setara dengan 60 kilogram sampah organik yang diperuntukkan bagi rumah tangga kecil. Harganya cuma Rp 175 ribu per unit. Tipe sedang berkapasitas 0,08 meter kubik dengan harga Rp 295 ribu per unit. Yang ini cocok untuk pengomposan di rumah tangga sedang, rumah makan kecil, atau toko. Tipe besar yang dijual Rp 475 ribu per unit memiliki kapasitas 0,12 meter kubik. Semua tipe di atas dibuat dari bahan plastik HDPE.
Tipe yang paling besar adalah Rotary Klin, yang tingginya hampir 2 meter dan lebar 1,55 meter. Kapasitas mesin ini lumayan besar, yakni 2 hingga 3 meter kubik. Sesuai dengan kapasitasnya, kata Sonson, alat yang terbuat dari fiber ini dijual Rp 15 juta per unit. “Tipe ini bisa digunakan untuk mengolah kompos secara kolektif di kompleks perumahan,” katanya.
Ternyata Komposter (pembuat kompos) buatan Sonson laku lumayan cepat. Baru setahun berjalan, dia sudah sanggup menjual 1.120 unit. “Pembelinya antara lain Pemerintah Kota Cimahi,” katanya. Penjualan Komposter Sonson juga meluas hingga ke Jawa Timur, Kalimantan, Sumatera, Papua, dan bahkan luar negeri. Awal Juli lalu, pengusaha dari Brunei Darussalam dan Malaysia menandatangani perjanjian kerja sama dengan Sonson untuk memproduksi alat ini. Mereka masing-masing memesan satu kontainer senilai Rp 55 juta untuk tahap pertama.
Meski mulai menuai sukses, Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia Jawa Barat ini pun tak lupa mengenalkan Komposter kepada sesama produsen alat pengolah pupuk lainnya. Salah satunya kepada Iman, warga Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Iman mengaku, sejak Januari 2006, dia mengolah sampah Kota Bandung dengan bantuan Komposter Sonson. Dia dibantu para pemuda, yang tak punya pekerjaan, mengolah sampah dari empat rukun tetangga, yang dihuni sekitar 350 keluarga. Sampah-sampah itu diolah menjadi pupuk, lalu dijual dengan harga Rp 1.000-1.500 per kilogram. “Sampah ini bisa menjadi anugerah,” katanya.
Berkah Sonson akhirnya meluas sampai ke mana-mana. Tak hanya Sonson yang bisa mempekerjakan sejumlah orang, para pembelinya pun dapat menyediakan lapangan kerja bagi para penganggur.
RANA AKBARI FITRIAWAN koran Tempo
Dikenalkan sejak tahun tahun 2005, sesaat TPA Sampah Leuwigajah Cimahi longsor, hingga kini komposter tetap menjadi pilihan dalam mengatasi masalah sampah dengan mengubahnya jadi kompos.