UKM Akan Genjot Kompos
”Hibah” Bank Dunia Sebesar 10 Juta Dolar AS
BANDUNG, (PR).-Wakil Ketua APPKMI (Asosiasi Pengusaha Pupuk Kecil Menengah Indonesia) Sonson Garsoni mengatakan sekira 100 UKM (usaha kecil menengah) di Jawa Barat akan diikutsertakan dalam program pengolahan kompos yang bahan bakunya berasal dari sampah organik perkotaan seperti limbah pasar, restoran, RPH (rumah pemotongan hewan), dll., mulai September 2003 mendatang. Program pengolahan kompos ini, sumber pendanaannya didukung oleh World Bank (Bank Dunia) berupa hibah yang mencapai sekira 10 juta dolar AS.
Dukungan insentiv subsidi yang akan cair awal September 2003 itu disalurkan ke KPN (Kantor Perbendaharaan Negara) melalui KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) yang akan menilai tingkat kelayakan UKM. “KLH akan menyediakan formulir aplikasi untuk diisi pelaku UKM yang akan mengikuti program tersebut. Pengolahan sampah organik untuk dijadikan kompos ini, selain untuk mendorong produksi pupuk lokal, juga ikut berperan mendukung para pelaku UKM kompos sebagai fabrikasi, mulai dari produksi maupun pemasarannya,” ungkap Sonson kepada “PR”, Senin (18/8).
Dijelaskan, dalam kegiatan tersebut APPKMI memberikan pembinaan terhadap UKM seperti melakukan diklat (pendidikan dan latihan) terhadap UKM yang telah diseleksi pada pertengahan September 2003 nanti. “Kegiatan ini tiada lain untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para pelaku dalam menjalankan program itu. Dengan demikian, program diharapkan lebih tepat sasaran,” tambahnya.
Mengenai potensi pelaku UKM yang bergerak dalam produksi kompos di Jawa Barat sendiri, Sonson mengatakan sampai saat ini hanya ada sekira 30 pelaku usaha yang rata-rata memproduksi 200 ton kompos pertahun. Hal itu mengindikasikan pula bahwa pengembangan produksi pupuk di Jawa Barat masih memerlukan pelaku-pelaku usaha yang baru.
Selain dukungan hibah untuk produksi kompos, sambung Sonson, selama setahun terakhir sebenarnya telah berjalan pula program dukungan pinjaman modal terhadap usaha yang menghasilkan produk bersih dan ramah lingkungan. Dukungan kredit berasal dari Jerman melalui Bank Jabar misalnya, untuk mendorong pelaku usaha yang menghasilkan produk-produk ramah lingkungan dengan plafon Rp 3 miliar.
Sonson menambahkan upaya meningkatkan produksi pupuk tersebut sangat mendesak, mengingat tingkat kebutuhan pupuk di dalam negeri yang cukup besar selama ini. Terutama dari sejumlah perusahaan swasta maupun BUMN (badan usaha milik negara), termasuk kebutuhan kompos ini. Perhutani contohnya, dalam setahun membutuhkan 60 ribu ton kompos.
“Saya optimistis bila program ini terwujud dan berjalan optimal, akan meningkatkan produksi kompos khususnya di Jawa Barat dan nasional pada umumnya, di tengah pengembangan produksi pupuk lokal yang mengalami tantangan yang semakin berat selama ini. Terlebih dengan masuknya sejumlah produk pupuk impor ke pasaran di dalam negeri dengan harga yang lebih murah,” ujar Sonson yang juga Ketua APPKMI Jabar.
Turun drastis
Diakui selama ini, perkembangan produksi pupuk di dalam negeri terus mengalami penurunan. Hal itu tampak dari jumlah produsen pupuk kecil menengah yang terus merosot sampai 70% dari sekira 700 unit PPKM menjadi 150 unit. Begitu pun di tingkat daerah seperti Jawa Barat sendiri, dari sekira 111 unit PPKM, turun menjadi 45 unit.
Bahkan, lanjut Sonson, tidak sedikit PPKM yang sampai gulung tikar karena omzet anjlok. Salah satu penyebabnya, akibat pupuk NPK impor yang banyak beredar dengan harga lebih rendah dibandingkan produk dalam negeri. Misalnya produk dari Cina, Malaysia, dan India yang berkisar Rp 1.500,00-Rp 1.725,00/kg. Sedangkan harga pupuk produk PPKM dalam negeri rata-rata mencapai di atas Rp 3.000,00/kg. Selain serbuan pupuk impor yang harganya lebih rendah, turunnya omzet PPKM itu karena program KUT (kredit usaha tani) yang telah dihapuskan. Hal tersebut menyebabkan daya beli petani terhadap komoditas tersebut menjadi sangat terbatas. Belum lagi adanya pelarangan ekspor pupuk produk BUMN, mendorong produk itu banyak beredar di pasar dalam negeri. (A-68)***
Dukungan insentiv subsidi yang akan cair awal September 2003 itu disalurkan ke KPN (Kantor Perbendaharaan Negara) melalui KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) yang akan menilai tingkat kelayakan UKM. “KLH akan menyediakan formulir aplikasi untuk diisi pelaku UKM yang akan mengikuti program tersebut. Pengolahan sampah organik untuk dijadikan kompos ini, selain untuk mendorong produksi pupuk lokal, juga ikut berperan mendukung para pelaku UKM kompos sebagai fabrikasi, mulai dari produksi maupun pemasarannya,” ungkap Sonson kepada “PR”, Senin (18/8).
Dijelaskan, dalam kegiatan tersebut APPKMI memberikan pembinaan terhadap UKM seperti melakukan diklat (pendidikan dan latihan) terhadap UKM yang telah diseleksi pada pertengahan September 2003 nanti. “Kegiatan ini tiada lain untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para pelaku dalam menjalankan program itu. Dengan demikian, program diharapkan lebih tepat sasaran,” tambahnya.
Mengenai potensi pelaku UKM yang bergerak dalam produksi kompos di Jawa Barat sendiri, Sonson mengatakan sampai saat ini hanya ada sekira 30 pelaku usaha yang rata-rata memproduksi 200 ton kompos pertahun. Hal itu mengindikasikan pula bahwa pengembangan produksi pupuk di Jawa Barat masih memerlukan pelaku-pelaku usaha yang baru.
Selain dukungan hibah untuk produksi kompos, sambung Sonson, selama setahun terakhir sebenarnya telah berjalan pula program dukungan pinjaman modal terhadap usaha yang menghasilkan produk bersih dan ramah lingkungan. Dukungan kredit berasal dari Jerman melalui Bank Jabar misalnya, untuk mendorong pelaku usaha yang menghasilkan produk-produk ramah lingkungan dengan plafon Rp 3 miliar.
Sonson menambahkan upaya meningkatkan produksi pupuk tersebut sangat mendesak, mengingat tingkat kebutuhan pupuk di dalam negeri yang cukup besar selama ini. Terutama dari sejumlah perusahaan swasta maupun BUMN (badan usaha milik negara), termasuk kebutuhan kompos ini. Perhutani contohnya, dalam setahun membutuhkan 60 ribu ton kompos.
“Saya optimistis bila program ini terwujud dan berjalan optimal, akan meningkatkan produksi kompos khususnya di Jawa Barat dan nasional pada umumnya, di tengah pengembangan produksi pupuk lokal yang mengalami tantangan yang semakin berat selama ini. Terlebih dengan masuknya sejumlah produk pupuk impor ke pasaran di dalam negeri dengan harga yang lebih murah,” ujar Sonson yang juga Ketua APPKMI Jabar.
Turun drastis
Diakui selama ini, perkembangan produksi pupuk di dalam negeri terus mengalami penurunan. Hal itu tampak dari jumlah produsen pupuk kecil menengah yang terus merosot sampai 70% dari sekira 700 unit PPKM menjadi 150 unit. Begitu pun di tingkat daerah seperti Jawa Barat sendiri, dari sekira 111 unit PPKM, turun menjadi 45 unit.
Bahkan, lanjut Sonson, tidak sedikit PPKM yang sampai gulung tikar karena omzet anjlok. Salah satu penyebabnya, akibat pupuk NPK impor yang banyak beredar dengan harga lebih rendah dibandingkan produk dalam negeri. Misalnya produk dari Cina, Malaysia, dan India yang berkisar Rp 1.500,00-Rp 1.725,00/kg. Sedangkan harga pupuk produk PPKM dalam negeri rata-rata mencapai di atas Rp 3.000,00/kg. Selain serbuan pupuk impor yang harganya lebih rendah, turunnya omzet PPKM itu karena program KUT (kredit usaha tani) yang telah dihapuskan. Hal tersebut menyebabkan daya beli petani terhadap komoditas tersebut menjadi sangat terbatas. Belum lagi adanya pelarangan ekspor pupuk produk BUMN, mendorong produk itu banyak beredar di pasar dalam negeri. (A-68)***