Potensi Sampah Bandung Mencapai Rp 450 Juta/Hari
Bila Dikelola Menjadi Kompos
BANDUNG, (PR).-Jika sampah di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Cimahi (Bandung Raya) bisa dikelola menjadi kompos, mempunyai potensi ekonomis setidaknya Rp 450 juta/hari.
Angka tersebut dihitung berdasarkan jumlah sampah di Bandung Raya yang berjumlah 15.000 m3, dengan diasumsikan separuhnya merupakan sampah organik (bahan pembuat kompos, red.).
“Itu hitung-hitungan minimalnya, kalau semua sampah tersebut bisa dikelola secara efektif, nilai ekonomisnya mungkin akan lebih tinggi lagi,” ujar Ketua Umum APPKMI (Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia) Jabar, Sonson Garsoni, Kamis (3/3).
Dijelaskan, dengan 7.500 m3 sampah per hari jika diolah menjadi kompos, paling tidak menghasilkan 30% kompos atau setara dengan 2.250.000 kg. Jika dijual dengan harga AKU (Asosiasi Kelompok Usaha UPPKS), lembaga yang memprakarsai penampungan kompos dari sampah perkotaan, yang bersedia membeli Rp 200,00/kg berarti akan didapat Rp 450 juta per hari.
“Jika langsung dijual ke pasar umum nilainya bisa lebih tinggi lagi, harga pasarannya saat ini Rp 500,00 – Rp 600,00/kg. Ke manapun menjualnya, yang terpenting dengan semakin banyak masyarakat yang mengolah sampah menjadi kompos, berarti permasalahan sampah yang kita hadapi bisa sedikit dieliminasi. Sehingga ‘Bandung lautan sampah’ tidak perlu sampai terjadi,” katanya.
Karena itulah pihak Askindo bersama dengan AKU, dan Forum RW Kota Bandung mencanangkan “Gerakan Darurat Penanganan Sampah Kota Model Skala RW dan Rumah Tangga” belum lama ini. Ide dasar “gerakan” tersebut, adalah pola pengelolaan dan pemanfaatan sampah secara swakarsa oleh warga masyarakat.
“Kita memang sudah belasan tahun bergerak dalam pengolahan sampah menjadi kompos, hanya selama ini bergerak dalam konteks lingkungan. Terjadinya longsor sampah di Leuwigajah, mendorong kita untuk mencoba mengaplikasikannya dalam skala RW dan Rumah Tangga,” katanya.
Bagikan mikroba
Menyinggung “gerakan darurat”, Sonson mengatakan dalam tahap awal akan membagikan secara gratis 1 ton mikroba untuk mengolah sampah menjadi kompos kepada masyarakat Kota Bandung. Terutama untuk Kota Bandung, yang permasalahan sampahnya paling serius. Untuk membagikan mikroba tersebut, akan didistrubusikan oleh Forum RW.
Selain itu, dimotori oleh Forum RW akan dibentuk unit-unit usaha kompos dan sentra-sentra pengolahan sampah di tingkat RW. Sehingga diharapkan pengelolaan dan pengolahan sampah warga bisa dilakukan secara swadaya, selain juga hasil penjualan komposnya bisa menjadi tambahan untuk kas RW.
“Pembagian mikroba ini dimaksudkan sebagai stimulan agar masyarakat mau berperan aktif dalam pengelolaan sampah. Jelas, jumlah 1 ton ini tak akan cukup, karena hanya bisa untuk mengolah 6.000 m3 sampah organik,” katanya.
Ditambahkan, untuk menjamin pemasaran kompos hasil produksi warga, pihaknya menggandeng AKU Jabar yang bersedia membeli dengan harga Rp 200,00/kg. Menurutnya, akan lebih baik lagi jika mencari akses ke pasar-pasar kompos, karena akan mendapat harga yang lebih baik.
“Pola serupa juga diterapkan untuk skala rumah tangga. Hanya untuk ini saya menyarankan untuk tidak menjual komposnya, karena akan lebih bermanfaat untuk digunakan untuk pekarangan sendiri,” katanya.
Menyinggung proses pembuatan kompos, menurutnya dibutuhkan alat bioreaktor. Diakuinya dalam penyediaan alat tersebut pihaknya sedikit bermasalah, karena selama ini tidak bergerak dalam pembuatan alat-alat. Hanya khusus untuk “gerakan darurat” sudah disediakan 1.000 bio reaktor berbagai macam ukuran, dengan harga Rp 60.000,00 – Rp 350.000,00/unit.
Dinas Tanaman Pangan
Sementara itu, inovasi pemanfaatan sampah organik menjadi kompos, juga muncul dari Dinas Tanaman Pangan Jabar. Namun inovasi tersebut, sejauh ini belum dapat termanfaatkan.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Jabar, Entang Ruchiyat, menyatakan sejumlah hasil litbang memang sudah ada, namun sejauh ini relatif masih “sepi” peminat. Padahal, tadinya sempat diharapkan ada minat dari pemerintah atau pengelola sampah, untuk memanfaatkan teknologi tersebut.”Pada sisi lain, di Jabar sendiri sedang muncul tren meningkatnya konsumsi pertanian organik, baik sayur-sayuran, tanaman pangan, buah-buahan, produk perkebunan, dll. Mengapa tidak, teknologi pengelolaan sampah organik, kemudian dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan usaha pertanian organik di daerahnya ?” katanya. (A-135/A-81) ***
Angka tersebut dihitung berdasarkan jumlah sampah di Bandung Raya yang berjumlah 15.000 m3, dengan diasumsikan separuhnya merupakan sampah organik (bahan pembuat kompos, red.).
“Itu hitung-hitungan minimalnya, kalau semua sampah tersebut bisa dikelola secara efektif, nilai ekonomisnya mungkin akan lebih tinggi lagi,” ujar Ketua Umum APPKMI (Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia) Jabar, Sonson Garsoni, Kamis (3/3).
Dijelaskan, dengan 7.500 m3 sampah per hari jika diolah menjadi kompos, paling tidak menghasilkan 30% kompos atau setara dengan 2.250.000 kg. Jika dijual dengan harga AKU (Asosiasi Kelompok Usaha UPPKS), lembaga yang memprakarsai penampungan kompos dari sampah perkotaan, yang bersedia membeli Rp 200,00/kg berarti akan didapat Rp 450 juta per hari.
“Jika langsung dijual ke pasar umum nilainya bisa lebih tinggi lagi, harga pasarannya saat ini Rp 500,00 – Rp 600,00/kg. Ke manapun menjualnya, yang terpenting dengan semakin banyak masyarakat yang mengolah sampah menjadi kompos, berarti permasalahan sampah yang kita hadapi bisa sedikit dieliminasi. Sehingga ‘Bandung lautan sampah’ tidak perlu sampai terjadi,” katanya.
Karena itulah pihak Askindo bersama dengan AKU, dan Forum RW Kota Bandung mencanangkan “Gerakan Darurat Penanganan Sampah Kota Model Skala RW dan Rumah Tangga” belum lama ini. Ide dasar “gerakan” tersebut, adalah pola pengelolaan dan pemanfaatan sampah secara swakarsa oleh warga masyarakat.
“Kita memang sudah belasan tahun bergerak dalam pengolahan sampah menjadi kompos, hanya selama ini bergerak dalam konteks lingkungan. Terjadinya longsor sampah di Leuwigajah, mendorong kita untuk mencoba mengaplikasikannya dalam skala RW dan Rumah Tangga,” katanya.
Bagikan mikroba
Menyinggung “gerakan darurat”, Sonson mengatakan dalam tahap awal akan membagikan secara gratis 1 ton mikroba untuk mengolah sampah menjadi kompos kepada masyarakat Kota Bandung. Terutama untuk Kota Bandung, yang permasalahan sampahnya paling serius. Untuk membagikan mikroba tersebut, akan didistrubusikan oleh Forum RW.
Selain itu, dimotori oleh Forum RW akan dibentuk unit-unit usaha kompos dan sentra-sentra pengolahan sampah di tingkat RW. Sehingga diharapkan pengelolaan dan pengolahan sampah warga bisa dilakukan secara swadaya, selain juga hasil penjualan komposnya bisa menjadi tambahan untuk kas RW.
“Pembagian mikroba ini dimaksudkan sebagai stimulan agar masyarakat mau berperan aktif dalam pengelolaan sampah. Jelas, jumlah 1 ton ini tak akan cukup, karena hanya bisa untuk mengolah 6.000 m3 sampah organik,” katanya.
Ditambahkan, untuk menjamin pemasaran kompos hasil produksi warga, pihaknya menggandeng AKU Jabar yang bersedia membeli dengan harga Rp 200,00/kg. Menurutnya, akan lebih baik lagi jika mencari akses ke pasar-pasar kompos, karena akan mendapat harga yang lebih baik.
“Pola serupa juga diterapkan untuk skala rumah tangga. Hanya untuk ini saya menyarankan untuk tidak menjual komposnya, karena akan lebih bermanfaat untuk digunakan untuk pekarangan sendiri,” katanya.
Menyinggung proses pembuatan kompos, menurutnya dibutuhkan alat bioreaktor. Diakuinya dalam penyediaan alat tersebut pihaknya sedikit bermasalah, karena selama ini tidak bergerak dalam pembuatan alat-alat. Hanya khusus untuk “gerakan darurat” sudah disediakan 1.000 bio reaktor berbagai macam ukuran, dengan harga Rp 60.000,00 – Rp 350.000,00/unit.
Dinas Tanaman Pangan
Sementara itu, inovasi pemanfaatan sampah organik menjadi kompos, juga muncul dari Dinas Tanaman Pangan Jabar. Namun inovasi tersebut, sejauh ini belum dapat termanfaatkan.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Jabar, Entang Ruchiyat, menyatakan sejumlah hasil litbang memang sudah ada, namun sejauh ini relatif masih “sepi” peminat. Padahal, tadinya sempat diharapkan ada minat dari pemerintah atau pengelola sampah, untuk memanfaatkan teknologi tersebut.”Pada sisi lain, di Jabar sendiri sedang muncul tren meningkatnya konsumsi pertanian organik, baik sayur-sayuran, tanaman pangan, buah-buahan, produk perkebunan, dll. Mengapa tidak, teknologi pengelolaan sampah organik, kemudian dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan usaha pertanian organik di daerahnya ?” katanya. (A-135/A-81) ***