Gerakan Darurat Penanganan Sampah Kota (GD-PSK)


Bencana TPA Leuwigajah di Cimahi pada tanggal 21 Feb 2005 lalu dan diikuti longsor di TPS di Lembang menyentuh rasa kemanusiaan kita karena ternyata dari sampah yang tidak berguna telah mampu membunuh manusia. Dan seterusnya, Kalau tidak dikelola secara baik, sampah di kota-kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung akan membuat berbagai gunung timbunan baru di berbagai titik dan sudut kota.
Masalah sampah, kini bukan hanya masalah kota-kota di Bandung Raya. Sampah akan menjadi masalah pelik dan “bom waktu” bagi semua kota-kota di Indonesia ketika masyarakat belum punya kesadaran mengelolanya. Jalan pintas masyarakat dengan membuang ke Sungai maupun membakarnya akan menimbulkan persoalan lain yakni, banjir serta pencemaran dioxin dari udara pembakaran sampah.


Besarnya volume sampah dengan pengelolaan konvensional melalui pengumpulan, pengangkutan dan penumpukan di suatu tempat (TPA) nampaknya memerlukan peninjauan ulang. Jika sampah di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Cimahi (Bandung Raya) dijumlahkan maka tidak kurang dari 15.000 m3 per hari. Teknik mengubah sampah menjadi produk lain yang bernilai dan bermanfaat ( recycling) sebenarnya sudah lama diketahui dan dipraktekan. Masalahnya adalah, ketika sampah telah bercampur antara sampah basah (organik) dan an-organik (kering). Karena secara teknis, sampah bisa didaur ulang ketika di level sumber penghasil dapat segera dipisah penyimpanannya. Sampah basah langsung dijadikan kompos dan sampah kering bisa dikumpulkan kemudian dijual menjadi bahan daur ulang. Di kota-kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung saja, jika dikelola menjadi kompos akan mempunyai potensi ekonomis setidaknya Rp 450 juta/hari. Angka tersebut dihitung berdasarkan jumlah sampah di Bandung Raya yang berjumlah 15.000 m3, dengan diasumsikan separuhnya merupakan sampah organik (bahan pembuat kompos.)

“Angka potensi ekonomis diatas barulah hitung-hitungan minimalnya. Kalau semua sampah termasuk an-organik tersebut bisa dikelola secara efektif, nilai ekonomisnya mungkin akan lebih tinggi lagi,” ujar Ketua Umum APPKMI (Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia) Jabar, Sonson Garsoni, Kamis (3/3).Dijelaskan, dengan 7.500 m3 sampah setara 1.500 ton per hari jika diolah menjadi kompos, paling tidak menghasilkan 35% kompos atau setara dengan 525 ton. Jika dijual dengan harga Rp 200,00/kg berarti akan didapat Rp 105 juta perhari.
“Jika langsung dijual ke pasar umum nilainya bisa lebih tinggi lagi, harga pasarannya saat ini Rp 500,00 – Rp 850,00/kg berarti bisa didapatkan Rp450 juta per hari . Ke manapun menjualnya, yang terpenting dengan semakin banyak masyarakat yang mengolah sampah menjadi kompos, berarti permasalahan sampah yang kita hadapi bisa sedikit dieliminasi. Sehingga ‘Bandung lautan sampah’ tidak perlu sampai terjadi,” katanya (Pikiran Rakyat, 4 Maret 05).