Selama 2 (dua) hari mulai tanggal 19-21 Desember 2005- perwakilan dan utusan BPC AKU (Asosiasi Kelompok UPPKS ) dari berbagai Kota/kabupaten se Jawa Barat berkumpul di Lembang Bandung untuk bermusyawarah kerja (MUKERDA). Mukerda ini ditujukan guna membahas berbagai masalah aktual diantaranya soal klasik kesulitan modal usaha mikro dan kecil. Dengan naiknya BBM tak ayal usaha mikro juga dihadapkan pada pedang bermata dua – yang menikam usaha. Disatu pihak naiknya baiaya-biaya bahan baku, pengadaan dan transportasi serta upah, dan sebaliknya pula, daya beli konsumen menurun yang dengan sendirinya menurunkan daya jual dan penjualan.
Pilihan kiat usaha menjadi sulit manakala harus menaikan harga, kami- selaku usaha mikro yang banyak dan menjalankan usaha monopolis- bukanlah ‘price maker’ yang bisa naikan harga dan mendikte konsumen untuk tetap membeli beli. ……………emangnya BUMN ? yang mengelola sumberdaya nasional bagi kepentingan rakyat banyak yang bisa naikan harga dengan tetap konsumen tidak akan berpaling ?? Usaha mikro dan kecil- berbeda dengan BUMN yang bermain di wilayah kebutuhan masyarakat yang vital dan “monopolis”, usaha kecil dan mikro umumnya bermain di wilayah ” entry barier business” yang rendah. Tanpa perlindungan pemerintah, hampir semua orang (termasuk konglomerat) bisa memasuki dan mengusahakan produk usaha mikro kapan saja diniatkan. Jadi, nampaknya usaha mikro dalam menghadapi perkembangan bisnis kedepan harus berstrategi juga.
Kekuatan usaha mikro adalah fleksibilitas dan inovasinya tersebut. Maka, strateginya adalah selalu pertahankanlah usaha dan produk yang unik berbasis bahan baku lokal agar tidak “direbut” usaha besar dan konglomerat………………Tapi apa benar bisa begitu ya ??? Buktinya tiwul, saos tomat, bumbu desa dan kampung, bumbu nasi goreng dan aneka masakan kampung telah juga beredar di pasaran sampai kampung dan nyata itu dibuat oleh usaha besar??? Jadi……………………usaha mikro harus usaha apa….dong ??????? (**)