Mesin Kompos Modern, Atasi Masalah Sampah di Perkotaan

Balad Kuring akronim dalam bahasa daerah Sunda berarti teman kita, adalah forum atau aktivitas para pihak dalam masyarakat yang peduli pada lingkungan hidup. Perwujudan kegiatan yang ingin dipopulerkan antara lain hari tanpa kendaraan (car free day), mengganti atau mengurangi penggunaan kantung plastik, membersihkan dan menjaga kebersihan sungai serta aliran air, memelihara lahan terbuka hijau, mengurangi penggunaan kendaaan bermotor pribadi dengan memanfaatkan kendaran umum massal, dan menanam pohon atau penghijauan lahan kritis.

Gerakan pertama Balad Kuring adalah penetapan kawasan bebas sampah di 26 kabupaten/kota se  Jawa Barat. Penetapan kawasan tersebut menjadi wewenang bupati dan wali kota. ”Bebas sampah di kawasan itu bukan sehari, tapi selamanya. Secara bertahap jumlah kawasannya diperbanyak,” jelas Dede Yusuf, dalam kesempatan event Balad Kuring di tahun 2009 lalu, di Bandung. Sementara itu, dilain kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengancam mencabut penghargaan Adipura dari daerah yang tak bisa menjaga kebersihannya.  Lebih lanjut dikatakan, “jangan sampai, katanya, daerah cuma bebersih menjelang tim penilai datang, namun setelahnya kembali kacau balau. (TEMPO Interaktif, Purwakarta, 28 Nov 2010).

Melihat keadaan pengelolaan sampah di banyak kota, maupun menyimak jalan berfikir banyak pimpinan pengelola kota dan pemerintahan, nampaknya problem sampah dan kebersihan ini belum akan berakhir untuk beberapa tahun kedepan. Kultur dan cara pandang kita semua terhadap masalah sampah bisa dikatagorikan masih primitif. Pada komunitas primitif, karena keterbatasan ilmu pengetahuan melihat kegunaan dan keterpakaian suatu material, benda dikatagorikan sampah. Karena sampah tidak berguna, dibuanglah ke TPA. Dengan  jalan berfikir (mindset) bahwa sampah tidak berguna dan harus dibuang itulah, semua pemegang kewenangan pengelolaan sampah kota, akan selalu berfikir mengatasi timbulan sampah di kota, adalah mencari lahan TPA. Walaupun dalam istilah “keren” bisa saja dinamakan Tempat Pengelolaan dan Pembuatan Kompos, namun pada faktanya sama, sampah ditumpuk (open dumping), ditinggalkan saat penuh, dan kemudian mencari lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) baru.  Padahal, bahkan, dalam kalkulasi ekonomi, membuat kompos  di TPA, dengan karakter  kompos bernilai murah  serta meruang ( bulky), jelas tidak memenuhi kelayakan, baik secara ekonomi maupun teknis. Sampah organik, bahan pembuatan kompos di TPA, selain sudah tercemari oleh material non organik dan kandungan logam berat  selama proses pengumpulan, bongkar muat dan pembuangan, juga telah mengambil biaya tinggi untuk dijadikan bahan  baku  pembuatan kompos.
Sebenarnya, kini, banyak hasil penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan telah menuntun kita akan pentingnya material – yang dulu dikatagorikan sampah. Bagi masyarakat, dan kita yang telah tahu sesuatu itu memberi manfaat keterpakaian, namun, masih juga membuangnya, harus diakui kita tergolong primitif. Bahkan, dalam nilai agama anutan sebagian besar warga, kepada manusia demikian digolongkan melakukan perbuatan mubadzir (siasia). Terlebih lagi dari berbuat sia-sia (mubadzir), ketika melakukan pembuangan sampah ke TPA, malahan justru, menggunakan biaya mengangkut, bongkar muat, dan menyediakan investasi sarana prasarana. 

Pengelolaan sampah dan kebersihan suatu kota, nampaknya memerlukan ikhtiar lebih dari sekedar pengadaan sarana prasarana. Mengaplikasikan hasil penelitian tentang pentingnya daur ulang ( recycle), upaya mengurangi ( reduce)  dan  menggunakan kembali (reuse)  atau dikenal metoda 3 R,  suatu keniscayaan kalau kita tidak ingin disebut bangsa yang telah berbuat sia-sia dan primitif. Bahkan, secara khusus besarnya peranan 3R, dalam sudut pandang lingkungan maupun ekonomi, mengharuskan kita memanfaatkan sampah tersebut.  Mengolah sampah katagori organik yang mendominasi sampah di perkotaan, kini  dengan teknologi mesin pengomposan (composting), yang telah di modifikasi bagi kepentingan olah sampah di sumber-sumber timbulnya, patut dipertimbangkan sebagai pilihan alternatif dibanding dengan pola pembuangan sampah ke TPA.  Mesin pembuatan kompos modern, bisa atasi masalah sampah di perkotaan yang  diketahui masih didominasi oleh jenis sampah organik..

Pengomposan ( composting) adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian ( dekomposisi) secara biologis, oleh mikroba yang memanfaatkan bahan organik (C) sebagai sumber energi. Mengolah sampah organik dan membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses rekayasa ini meliputi penyiapan kondisi campuran bahan baku yang ideal ( CN ratio = 30/ 1 hingga 40/ 1), pemberian air yang cukup, pengaturan intensitas aerasi ( ketersediaan oksigen) dan penambahan populasi bakteri pengurai dalam pengomposan. Diketahui, bau busuk yang ditimbulkan material ( sampah dan limbah) organik terjadi tatkala proses penguraian ( dekomposisi) berlangsung dalam kondisi tanpa oksigen atau intensitas aerasi rendah ( anaerob), atau kadar air atau kelembaban rendah maupun terlalu kering serta suhu yang tidak kondusif bagi bekerjanya bakteri pengurai. Pada kondisi prasyarat bagi berlangsungnya penguraian ( dekomposisi) material organik tidak terpenuhi, bakteri akan diam dan tidur ( dorman, saat sama akan terjadi reaksi anaerobik dan menimbulkan gas H2S maupun methana ( CH4) . Kedua jenis gas inilah yang dirasakan dan dipersepsikan warga masyarakat di sekitar pengelolaan sampah berada sebagai bau busuk mengganggu lingkungan.

Teknologi Biophoskko telah lama melakukan penelitian dan uji atas proses olah sampah untuk kepentingan di kota, yang tentu berbeda dibanding dengan pembuatan kompos di daerah pertanian. Menjiplak teknik lama tradisional, misal metoda bedeng terbuka (open windrows) dalam pembuatan kompos, sebagaimana dilakukan di pertanian, dilaksanakan di kota dalam kepentingan pengolahan sampah, akan menimbulkan berbagai masalah seperti kebutuhan luasan lahan, timbulan polutan bau, kebutuhan waktu proses dan tenaga kerja.. Kesemua hal itu sangat menentukan bagi kelayakan (sosial, lingkungan dan ekonomi) pengelolaan sampah di perkotaan. Dengan dasar itu, keperluan menyajikan teknologi pengelolaan sampah dan limbah- melalui penggunaan mesin (mekanisasi) dalam metoda bedeng (open windrow), menjadi penting. 

Berkat pengalaman lama mengenalkan komposter skala rumah tangga, kini rotary kiln ditawarkan untuk menjadi pilihan dalam mendapatkan solusi atas masalah sampah di perkotaan.  Mekanisasi  pada metoda  pembuatan kompos, khususnya bagi kepentingan  olah sampah di kawasan komersial ( hotel, restoran, pabrik, perumahan, apartemen) serta kawasan sosial ( pendidikan, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah)  berkaitan dengan upaya memberikan kenyamanan kepada masyarakat sekitar lokasi pengolahan sampah.