Masalah sampah kota seringkali ingin diselesaikan cara mudah, membuang ke sungai atau ke TPA bahkan dengan membakarnya. Tanpa disadari, polutan yang timbul dari plastik dan bahan organik terbakar beresiko keluarkan dioxin. Sampah tanpa dikelola juga timbulkan polutan, jenis organik yang dibiarkan di tempat pembuangan ahir (TPA), atau dikelola dengan teknik penumpukan (open dumping) juga mengeluarkan gas methana (CH4), H2S dan cairan lindi yang meresap ke aliran air tanah. Dengan tiap 1 ton keluarkan 50 kg gas methana, produksi sampah di Indonesia, tahun 2008, diperkirakan 167 ribu ton/hari dibuang ke tpa mampu memproduksi gas metan sebanyak 8.800 ton/hari. Gas inilah yang memiliki tingkat emisi 20 kali CO2, penyumbang besar pada efek gas rumah kaca (GRK) atau pemanasan global. Sampah, disamping menyumbang pemanasan global juga berkontribusi pada menurunnya derajat kesehatan penduduk.
Konsep penanganan sampah, dikenal dengan 3 R ( Reuse, Reduce, Recycle) menjadi rumit manakala budaya masyarakat tidak siap memilah sampah berdasar jenis organik, an-organik (logam, plastik, kaca). Upaya memasyaratkan pengomposan organik terkendala dengan bercampurnya aneka jenis sampah organik, sampah anorganik ( undegradable) bahkan dengan sampah berbau dan berbahaya (B3). Di beberapa kasus, ketika terdapat gerakan sadar dan peduli sampah dengan memisahkannya, namun kendati dipisah, masih kita saksikan berujung dibawa petugas ke TPS, ahirnya dicampur juga.
Jalan keluar dengan dibakar insinerator menjadi pilihan banyak kota, dijadikan energi bagi pembangkitan uap penggerak turbin dalam pembangkitan listrik maupun dijadikan material bangunan melalui pemadatan biomassa. Namun, menurut pakar lingkungan, tungku pembakaran dibawah 5000 derajat celcius tetap beresiko menghasilkan dioxin yang berbahaya bagi lingkungan. Maka jalan teraman, penanganan sampah secara berjenjang dan terdesentralisasi dimulai di level rumah tangga sebagai penimbul sampah terbesar melalui upaya memilah, kemudian menyediakan kontainer berdasar jenis sampah, mengolah sampah organik menjadi kompos dan mendaur ulang jenis anorganik (plastik, kertas, logam) serta sisanya berupa sampah un-degradable dan sampah klinis dikelola di TPA.
Pengomposan sampah, menjadi bahan organik kaya nutrisi bagi tanaman, telah dipraktekan di banyak keluarga di masyarakat negara maju seperti Eropa. Komposter di halaman, menjadikan sampah kebun, pekarangan, taman dan dapur menjadi kompos, kemudian material itu sangat berguna dalam kegiatan pertamanan. Kini, cara mengelola sampah berbasis masyarakat ( komunitas), mulai dikenalkan di Indonesia. Komposter, sebagai alat media proses dekomposisi sampah organik, dan dengan memanfaatkan konsorsium mikroba-bakteri dan jamur sebagai aktivator proses dekomposisi tersebut, mulai digemari keluarga Indonesia.
Menggunakan komposter di rumah-rumah keluarga Indonesia menjadi amat relevan jika mengingat keperluan akan pupuk organik bagi penyuburan kebun pekarangan. Keberadaan taman dan tanaman di pekarangan berupa tanaman bahan bumbu dapur, tanaman hias maupun tanaman obat, akan ikut membantu menghemat belanja keluarga. Pengelolaan sampah di sumber sumbernya, diyakini tuntaskan problem sampah kota.