Bedanya kali ini, perjalanan ke Singapura dilakukan tidak melalui Changi Airport – seperti biasanya kami berangkat dan pulang Bandung Singapura, melainkan melalui Batam dan menyebrang menggunakan Ferry – dengan waktu tempuh dari Batam Center ke Singapura hanya 45 menit saja. Dari Bandung ke Jakarta, awalnya mau menggunakan Bus Shuttle Primajasa dari BSM langsung ke Cengkareng- yang iklannya hanya 2 jam sampai ke gate tujuan kita, namun karena masih suasana Idul Fitri Bus hanya menyanggupi perjalanan 5 jam. Daripada ada timbul masalah, karena tiket telah tersedia buat penerbangan pkl 14.30 hari itu, akhirnya kami menggunakan mobil sendiri ke Jakarta dan ternyata – berbeda dengan info dari Shutle Primajasa – jalanan biasa saja dan waktu tempuh Bandung Jakarta Soekarno Hatta Airport pun hanya makan 2,5 jam saja. Kami menggunakan Air Asia, yang tiketnya telah dibeli secara Online jauh sebelumnya. Cukup berbekal paspor, check in di Terminal I A Domestik hanya memerlukan waktu 30 menit saja. Di penerbangan milik Malaysia ini, Check In hanya memerlukan waktu singkat karena berbeda dengan Airflight lainnya, Air Asia membebaskan berbagai jam penerbangan berbeda untuk melakukan check in setiap saat asal di hari sama. Di counter check In pun penumpang tidaklah berdesakan sebagaimana airflight lainnya check In sekaligus di jam penerbangan yang sama. Disamping mendapat kepastian saat beli tiket secara online, AirAsia juga membuat lumayan nyaman saat chek in karena tanpa memerlukan keberadaan tiket, selain tunjukan aja Nomor Confirm Tiket saat beli kepada petugas Counter.
Sejenak landing di Batam, begitu keluar claim bagage, kami langsung di tawari Voucher hotel discount dan tiket Ferry menyeberang ke Singapura, di berbagai counter tersedia. Karena saat liburan itu, dimana malahan Batam sepi karena banyak orang Jawa mudik, kami bisa mendapatkan 1 malam menginap di Hotel berbintang Nagoya Plasa serta 2 Tiket plus return ke Singapura hanya Rp. 480.000,- saja. Yang anehnya, taksi Hang Nadim ke Hotel dan tujuan manapun di Bandara ini tarifnya sama Rp 70.000,- Sesampainya kami di hotel, dengan disambut rekan kuliah di Bogor saat itu, yang kini jadi anggota DPD asal Kepri dan sebelumnya telah ditelpon, kami mendapatkan kamar bagus dengan luas walaupun lumayan murah. Perbincangan malam itu dengan kawan lama, sungguh memberi wawasan baru kalau masyarakat Batam sangat geram akan penjualan pasir ke Singapura- yang telah menyebabkan tenggelamnya suatu pulau namun dilain pihak pantai Singapura malahan bertambah luas. Ah…sudahlah kalau urusan negeri ini memang gitu…..dari pada pusing mikir kebijakan negara, fikirku, mendingan sejenak kami ingin jadi rakyat Republik Mimpi saja deh………………………… maka kami pun tidur nyenyak setelah lelah karena lama di Lounge Cengkareng Airport akibat salah info arus mudik dan kecepetan juga sampainya di Jakarta.
Esok harinya, 28 Oktober 2006, kami berangkat ke Singapura dengan naik Ferry Penguin dari Batam Center. Sepanjang jalan antara Nagoya sampai Batam Center dapat kami lihat banyak Ruko kosong dan banyak pakai spanduk ditawarkan bisa dikontrak hanya Rp 12 juta/ tahun……murah juga ya ? Ruko 3 lantai dan baru dibangun kok murah ? Ternyata mas sopir cerita kalau 1 tahun terakhir sejak judi diberantas urat ekonomi Batam menurun. Pelancong Malaysia, Brunei dan Singapura turun drastis…..maka banyak kapasitas Ruko, fasilitas internet dan hotel yang kekurangan pengunjung. Hikmah pemberantasan judi bisa juga membuat buka usaha di Batam lebih kompetitif dengan banyaknya prasarana murah……………..
Pelabuhan keberangkatan ke HarbourFront Singapore maupun Stulang Laut Johor darii Batam Center – selain dari Sekupang yang mulai sepi- hanya ditempuh 25 menit saja dari Nagoya – tempat kami menginap. Pelabuhan yang berdekatan dengan Mega Mall ini lumayan ramai, namun ternyata lagi-lagi banyak ruang usaha kosong utamanya di Lantai 2 dan 3. Kami berfikir seandainya saja berjualan aneka unique food, herbal corner dan merchandise goods serta internet lumayan juga berprospek nih………………..namun fikiran itu ditepis setelah menyadari bahwa tanpa system standar, usaha 1 lokasi saja ngak mudah apa lagi di banyak lokasi dengan pengawasan hanya mengandalkan manual….
Kami menuju bagian depan mall dimana terdapat pilihan moda angkutan mulai Taxi, Bus dan MRT (Mass Rapid Transport – suatu sistem Kereta Bawah Tanah) yang akan menghubungkan ke berbagai tempat di Kota….eh Propinsi…eh Negara Singapura. Inilah salah satu negara yang Presiden nya merangkap sebagai Gubernur sekaligus Walikota…. fikirku. Saking kecilnya, negara ini ngak ada walikota dan Gubernurnya, semua urusan kota langsung ke Menteri dan Presiden ya…………… Kami memilih MRT untuk sampai ke lokasi hotel- dimana sudah kami pesan sebelum keberangkatan secara online. Kamar hotel seharga bintang lima atau SGD 125 / malam di Bandung ini, ternyata hanya sebuah kamar ukuran ½ nya kamar di Horison Bandung. Walaupun fasilitas lengkap, kamar ini terasa sempit bagi ukuran kami yang terbiasa dengan hotel-hotel di Bandung dan Indonesia pada umumnya. Hal sama ketika kami menginap di Mandarin Meritus Orchad Road bersama Gubernur Jawa Barat – ketika meresmikan penerbangan perdana Merpati Bandung –Singapura tahun 2005 lalu, kamar seharga SGD 200/ malam atau setara Rp 1,200.000,- itu pun sempit. Memang ini negara yang kurang lahan ya ?……………Pantas beli pasir ribuan kapal dari Riau untuk mengurug pantai agar makin luas…………….wah iri sama pengusaha eksportir pasir – yang jual pasir pakai kapal dan baliknya kapal bawa limbah kedalam negeri nih fikirku…………….
Aileen di Liang Court Rivervalley Singapore
Setelah istirahat sejenak, dengan MRT kami menempuh perjalanan ke outlet yang menjual produk Kencana di Liang Court RiverValley. Kami naik MRT dari Stasiun Bugis – dengan layanan tiket secara mesin GTM ( General Ticket Machine), klik pilihan tiket kemudian klik tujuan stasiun Clark Quay dan nampaklah di layar angka SGD 2,9 – yang harus kami bayar. Masukan uang serta tunggu kembaliannya beserta tiketnya. Hal beda ketika naik Ferry di Merak Bakauhuni yang dilayani petugas…lalu kembalian sering2 kehabisan……..di GTM ngak akan terjadi. Sekitar 25 menit kami turun di Clark Quay, sebagai suatu MRT Stasiun terdekat dengan Mall Liang Court. Kami turun MRT dan kemudian mamasukan tiket ke GTM dan keluarlah uang SGD 1 sebagai uang jaminan atas setiap trip perjalanan. Jadi dari hotel kami menginap di daerah Bugis ke outlet di Liang Court ini biayanya hanya SGD 1,9 atau sektar Rp 10.000,- saja sementara SGD 1 hanya sebagai jaminan agar penumpang yang turun di Sta lebih jauh bisa kena denda dari jaminan itu.
Ms Ailleen pemilik outlet produk Kencana di mall 2 lantai di kawasan RiverValley ini menyambut kami dengan heran karena tanpa pemberitahuan terlebih dahulu……….Sejak kami simpan produk kencana akhir tahun 2005 lalu, diketahui kalau saat ini stock produk hanya tersisa Kencan_A Magic Apple sebanyak 6 pcs lagi. Serta merta Ms Aileen memesan aneka wood craft mahoni lagi sebanyak yang mungkin setelah nanti kami kirim via e mail data harga berikut fotonya nanti.
Lokasi Hotel berdekatan dengan Suntec City
Esok harinya, dengan tujuan memenuhi undangan Pameran Lingkungan Eco Expo di Suntec City kami sekaligus pindah hotel ke dekat lokasi pameran itu. Karena kami sudah pesan secara Online, dengan cepat kami diantar ke lt 5 hotel terbilang tua ini. Nss Storey – yang sebenarnya hanya hotel backpacker – yang berlokasi di Jalan Rochor Road atau daerah Bugis ini terbilang nyaman, dengan berada diantara taman baik bagian depan, kanan dan kiri bahkan belakang dan dengan kamar memiliki jendela terbuka ke Taman hingga bisa menghirup udara sambil…….merokok tentunya, hotel ini kami putuskan akan menjadi hotel langganan aja di kemudian hari. Sedikitnya area smoking di Singapura, karena semua bagian negeri pada dasarnya No Smoking Area, kami merasa tersiksa juga kan ?. Nah…hotel inilah- yang berkamar luas dan terbuka jadi memungkinkan kami merokok di kamar secara leluasa.
Eco Expo ini disiapkan secara profesional, sebagaimana umumnya pameran di Singapura- yang dilangsungkan di tiap minggu di berbagai lantai Convention Suntec ini-. Eco Expo berada di Lantai VI- di tengah arena terdapat maket yang menggambarkan Visi maupun konsep Singapore sebagai Garden City, Eco City dan Learning City……………..Di bagian ini kami tertegun lama jika memikirkan betapa bangsa lain ( dhi Singapura) merindukan suasana lingkungan kota yang hijau dengan kebun yang sekaligus tempat belajar yang nyaman ?……….Belajar aja dipersiapkan sehingga perlu suatu konsep sendiri ?….ya memang kalau diingat bahwa belajar harus dilakukan sepanjang hayat…. dan kemanapun kita harus mencari ilmu walaupun ke negeri Cina …..“ilmi walau fishin…kira-kira gitulah rakyat negara ini mengamalkan hadist Nabi.
Dengan berbekal ID Card PT CV SK – sebagai Composter Manufacturer- yang telah tersedia karena data terkirim secara online sejak di Bandung, maka tidak lama mendapatkan ID Card keren, dan kami datangi stand booth satu persatu. Di suatu stand kami sangat tertarik dengan alat pengolah air toilet jadi air minum. Di Stand ini ada statement campaign : “ Next….Water More Expensive Than Oil “ ……….. wah mereka sudah siap dengan daur ulang air WC nih…….Lalu stand lainnya terdapat produk plastik- – termasuk plastik sampah rumah tangga yang bisa hancur dalam 6 bulan. Di stand sebelahnya juga terdapat aneka produk pengganti styrofoam dan plastik atau pengganti kertas karton pembungkus makanan dan buah-buahan. Ternyata kedua perusahaan Singapura itu memakai bahan asal tanaman singkong. Tapioka dijadikan resin kemudian jadi plastik dapat hancur- berbeda dengan plastik berasal dari resin mineral yang memerlukan 100 tahun menjadi tanah; sedangkan limbah sawit dijadikan aneka bungkus makanan dan dapat hancur ( degradable ) mengantikan peran styrofoam – yang kini digunakan banyak katering dan supermarket – pengganti daun di masa lalu di Indonesia.
Setelah mendapat layanan ramah stand guide yaitu seorang Amoy mandarin yang cantik….. , karena pertanyaan kami kelihatan pede kali…..akhirnya kami dihandle manager perusahaan Tapioca Plus itu yang juga cantik dan ehm…..CMG ( cerdas dan matang githu lho) …………..maka sepakatlah PT CVSK sebagai suatu perusahaan manufaktur komposter akan melayangkan surat minat menjadi pemasar di Indonesia kelak……karena jika Rumah tangga Indonesia menggunakan “plastik tapioka” dan pembungkus buah serta makanan berbahan pertanian itu bisa langsung dijadikan kompos dalam komposter biophosko…………. dong.
Rasa kagum pada bangsa Singapura- tanpa lahan luas dan dan ngak subur ini- adalah akan semangat warga negaranya dalam menjual barang dan berinovasi yang membuat kami berputar-putar sampai pegal………..ada stand booth lain, misalnya, memajang mobil bertenaga surya maupun stand yang menggelar aneka buatan anak sekolah ( Prakarya) dari bahan sampah. Sesampainya pada suatu sudut kami berfikir, dimana Singapura punya kebun luas buat bahan bakunya ya ? Jangankan kebun sawit, wong kebun singkong juga ngak akan ada rasanya ? Kok bisa-bisanya jual plastik berbahan taiopka ? masa kami orang Indonesia yang jelas punya kebun singkong malahan ngak sadar bisa buat plastik. Tahunya singkong, sejak jaman Majapahit juga tetap, di rebus- dibakar dalam abu panas, atau dibuat tape dan colenak …..yang sedikit pakai teknologi juga adalah singkong jadi tapioka lalu, ujungnya ya jadi gethuk lindri………………….he…he sektor perut aja tahunya.
Pertanyaan itu yang membuat kami balik lagi ke stand TapiokaPlus – walaupun sudah sangat jauh…..dilayani dengan rasa geer standguide tadi – yang mungkin disangkanya kami tertarik pada kecantikannya…..padahal kami ingin bertanya ( sambil kagum akan kecantikan tentunya) di mana pabrik plastik tapioka dan kertas berbahan limbah sawit itu ? Bukankah Singapura tidak punya kebunnya ? Dengan enteng dijawab kalau pabrik plastik itu adanya di Tangerang, namun karena kurang diminati didalam negeri Indo maka dipasarkan 100 persen di negara lain selain Indonesia………………….wow !!fikir kami kelewatan saat berangkat lewat cengkareng dong……………………………….kenapa harus jauh ke Suntec lihat produk Tangerang atuh……..??????? Dan kenapa yang usaha singkong mesti orang Singapura dan bukan orang Singaparna Tasik dimana banyak kebun singkong ???? Apakah karena orang Indonesia masih berfikir di sektor perut kalau lihat singkong teh ?
..