BANDUNG, (PR).-Bank Dunia menjadikan industri kompos Jabar, DKI Jakarta, dan Banten sebagai projek percontohan (pilot project), dalam program pembuatan kompos berbahan baku sampah perkotaan. Untuk tahap pertama, April 2004 – April 2005, Bank Dunia akan mengucurkan bantuan sebesar 2,4 juta dolar AS dalam bentuk insentif produksi.
“Program di Jawa bagian barat ini, merupakan yang pertama dilakukan Bank Dunia,” ujar Dr. Elisco L. Ruiz, spesialis teknologi kompos Bank Dunia usai rapat konsultasi dengan pengusaha kompos di Jabar, di Graha Kadin Kota Bandung, Jln. Talagabodas, Bandung, akhir pekan lalu.
“Rencananya, bantuan Bank Dunia dalam program ini berlangsung selama sembilan tahun. Tetapi besarnya bantuan yang diberikan, ditentukan perkembangan program pada setiap tahun. Jika perkembangannya bagus, jumlah bantuannya akan ditambah,” ujarnya.
Menurut Elisco, dalam tahap pertama ini pihaknya akan memberikan insentif sebesar Rp 200,00 – Rp 350,00 untuk setiap kg kompos yang diproduksi, dengan menggunakan bahan baku sampah perkotaan. Di mana industri kompos kategori terkecil (kapasitas produksi 1-2 ton/hari), diberi nilai insentif terbesar.
“Untuk proses seleksi penerima insentif, kita bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Pada tahap pertama ini, ditargetkan 60.000 ton/tahun kompos yang akan diberi insentif,” katanya.
Cukup berat
Dalam kesempatan yang sama, konsultan KLH, Prof Dr. Ir. H.M.H. Bintoro M.agr, mengemukakan kekhawatirannya target 60.000 ton/tahun tak bisa dicapai. Karena industri kompos di Indonesia, pada umumnya hanya mempunyai kapasitas produksi 1-2 ton/hari.
Karena itulah, untuk merangsang peningkatan produksi, penerima insentif akan diberikan pembayaran di muka, sebesar 30% dari total kapasitas yang akan diberikan insentif dalam satu tahun. Sehingga bisa dipergunakan untuk tambahan modal kerja, pembelian alat-alat, dan mesin kompos.
“Asal tahu saja, jika target 60.000 ton/tahun bisa dicapai, jumlah bantuan untuk tahap selanjutnya akan meningkat 5 kali lipat menjadi 12 juta dolar AS. Namun, jika tak bisa memenuhi target, kemungkinan programnya akan dihentikan,” katanya.
Menyinggung persyaratan mendapat insentif, Bintoro mengatakan salah satunya adalah dalam proses produksinya tidak mencemari udara. Terutama dalam hal kandungan logam yang harus dalam batas standar yang ditentukan, dan tidak menghasilkan gas methan dalam proses produksinya.
Sementara Ir. Sonson Garsoni, Ketua Umum APPKMI (Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia) Jabar, yang menjadi mitra KLH dalam program kompos tersebut, juga menilai pemenuhan target 60.000 ton/tahun cukup berat.
Apalagi produsen kompos yang memenuhi kriteria untuk mendapat insentif, hingga saat ini jumlahnya pun masih sangat sedikit. Terbukti dari 72 pengusaha yang dihimpun APPKMI Jabar untuk program tersebut, hanya 18 yang mendaftar ke KLH dan dari jumlah itu hanya 4 produsen yang lolos. “Saya sendiri tak mengerti, mengapa program bagus seperti ini kurang dimanfaatkan. Kendala utamanya memang dalam permodalan. Namun dengan adanya pembayaran insentif di muka sebesar 30% dari total, saya kira bisa menjadi jalan keluar dari masalah tersebut,” katanya. (B.40)***
“Program di Jawa bagian barat ini, merupakan yang pertama dilakukan Bank Dunia,” ujar Dr. Elisco L. Ruiz, spesialis teknologi kompos Bank Dunia usai rapat konsultasi dengan pengusaha kompos di Jabar, di Graha Kadin Kota Bandung, Jln. Talagabodas, Bandung, akhir pekan lalu.
“Rencananya, bantuan Bank Dunia dalam program ini berlangsung selama sembilan tahun. Tetapi besarnya bantuan yang diberikan, ditentukan perkembangan program pada setiap tahun. Jika perkembangannya bagus, jumlah bantuannya akan ditambah,” ujarnya.
Menurut Elisco, dalam tahap pertama ini pihaknya akan memberikan insentif sebesar Rp 200,00 – Rp 350,00 untuk setiap kg kompos yang diproduksi, dengan menggunakan bahan baku sampah perkotaan. Di mana industri kompos kategori terkecil (kapasitas produksi 1-2 ton/hari), diberi nilai insentif terbesar.
“Untuk proses seleksi penerima insentif, kita bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Pada tahap pertama ini, ditargetkan 60.000 ton/tahun kompos yang akan diberi insentif,” katanya.
Cukup berat
Dalam kesempatan yang sama, konsultan KLH, Prof Dr. Ir. H.M.H. Bintoro M.agr, mengemukakan kekhawatirannya target 60.000 ton/tahun tak bisa dicapai. Karena industri kompos di Indonesia, pada umumnya hanya mempunyai kapasitas produksi 1-2 ton/hari.
Karena itulah, untuk merangsang peningkatan produksi, penerima insentif akan diberikan pembayaran di muka, sebesar 30% dari total kapasitas yang akan diberikan insentif dalam satu tahun. Sehingga bisa dipergunakan untuk tambahan modal kerja, pembelian alat-alat, dan mesin kompos.
“Asal tahu saja, jika target 60.000 ton/tahun bisa dicapai, jumlah bantuan untuk tahap selanjutnya akan meningkat 5 kali lipat menjadi 12 juta dolar AS. Namun, jika tak bisa memenuhi target, kemungkinan programnya akan dihentikan,” katanya.
Menyinggung persyaratan mendapat insentif, Bintoro mengatakan salah satunya adalah dalam proses produksinya tidak mencemari udara. Terutama dalam hal kandungan logam yang harus dalam batas standar yang ditentukan, dan tidak menghasilkan gas methan dalam proses produksinya.
Sementara Ir. Sonson Garsoni, Ketua Umum APPKMI (Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia) Jabar, yang menjadi mitra KLH dalam program kompos tersebut, juga menilai pemenuhan target 60.000 ton/tahun cukup berat.
Apalagi produsen kompos yang memenuhi kriteria untuk mendapat insentif, hingga saat ini jumlahnya pun masih sangat sedikit. Terbukti dari 72 pengusaha yang dihimpun APPKMI Jabar untuk program tersebut, hanya 18 yang mendaftar ke KLH dan dari jumlah itu hanya 4 produsen yang lolos. “Saya sendiri tak mengerti, mengapa program bagus seperti ini kurang dimanfaatkan. Kendala utamanya memang dalam permodalan. Namun dengan adanya pembayaran insentif di muka sebesar 30% dari total, saya kira bisa menjadi jalan keluar dari masalah tersebut,” katanya. (B.40)***
Program bagus dan sangat bermanfaat. Tetapi tidak salah jika banyak orang yang apatis terhadap program-program seperti ini. Jika uang yang terlibat berskala besar, biasanya semut dan lalat datang dan mencoba untuk menggoyang dan berusaha untuk mencari keuntungan. Program besar dan sangat bagus ini memang harus dikawal dan dimonitor melalui sebuah sistem yang melibatkan pihak-pihak yang memang berniat untuk memasyarakatkan kompos di Indonesia.
Hi, I think your blog might be having browser compatibility issues.
When I look at your blog site in Firefox,
it looks fine but when opening in Internet Explorer,
it has some overlapping. I just wanted to give you a quick
heads up! Other then that, great blog!