Jakarta, Kompas – Sejumlah industri pupuk swasta, atau non-BUMN (Badan Usaha Milik Negara) berskala kecil yang memproduksi pupuk majemuk siap memindahkan produksinya ke negara lain. Hal ini terkait dengan tingginya biaya produksi di dalam negeri dibandingkan bila memproduksinya di China, sehingga harga produk bisa ditekan lebih rendah 30 hingga 40 persen.
“Produksi di China sangat efisien. Harga pupuk majemuk mereka yang masuk ke Indonesia saja harganya bisa lebih rendah 30 hingga 40 persen dari produk dalam negeri,” kata Ketua I Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia (APPKMI) Sonson Garsoni di Bandung, Rabu (13/4).
Menurut Sonson, selain produktivitas tenaga kerja di China sangat tinggi, harga bahan baku untuk pembuatan pupuk majemuk di negeri itu sangat murah. “Dan pemerintahnya tidak menjadi beban bagi industri. Investasi untuk satu pabrik Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar,” ujarnya.
Dijelaskan, impor urea, yang menjadi bahan baku pupuk majemuk dari China atau Rusia lebih murah dibandingkan bila membeli dari industri pupuk milik BUMN. Ini karena urea dari China atau Rusia sangat tinggi kadar bioretnya, sehingga tidak bisa langsung digunakan.
“Tetapi dapat diolah menjadi pupuk majemuk sehingga bisa digunakan oleh petani. Selain urea, pospat dan KCL pun banyak tersedia di China yaitu dipasok dari Rusia,” tutur Sonson, yang juga Ketua APPKMI Jawa Barat.
Saat ini terdapat sekitar 500 industri pupuk kecil menengah, 148 diantaranya telah mendapat SNI (Standar Nasional Indonesia). Tenaga kerja yang dapat diserap 25 orang untuk satu pabrik yang berskala kecil. “Rata-rata satu industri perlu 50 tenaga kerja. Dari total omzet pupuk nasional Rp 10 trilyun per tahun, market share APPKMI sekitar lima persennya,” ujar Sonson.
Pilihan rasional
Pilihan untuk memindahkan produksi ke China telah dilakukan oleh beberapa pengusaha industri makanan, seperti Garudafood, Nabisco, Coca Cola, Cadburry, Nestle, Unilever, Arnott, dan sebagainya. “Pengusaha normal akan melakukan hal itu. Karena memang biaya produksinya bisa ditekan, dan segalanya menjadi lebih mudah,” kata Nandi Arisbaya, produsen bumbu dengan merek dagang “Nik Nak”.
Menurut Nandi, buat industri besar tidak sulit untuk memindahkan produksinya. “Yang posisinya terjepit itu justru yang kecil. Mereka harus terima keadaan, gula naik, BBM naik, belum lagi kesulitan menembus pasar,” tegasnya.
Dipaparkan, mustahil bagi usaha kecil mustahil masuk ke pasar-pasar modern, karena banyaknya persyaratan dan beban yang harus ditanggung. “Dua tahun terakhir ini keadaan menjadi semakin sulit. Usaha kecil bisa masuk pasar modern dengan menjual curah pada pemain besar. Merekalah yang punya branded,” kata Nandi.
Oleh karena itu, lanjut Nandi, pemerintah hendaknya menjadi fasilitator, membantu industri kecil melakukan transformasi untuk meningkatkan produk serta menembus pasar. “Kepekaan terhadap kebutuhan pengusaha itu yang belum tampak,” tambah Sonson. (ELY)
“Produksi di China sangat efisien. Harga pupuk majemuk mereka yang masuk ke Indonesia saja harganya bisa lebih rendah 30 hingga 40 persen dari produk dalam negeri,” kata Ketua I Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia (APPKMI) Sonson Garsoni di Bandung, Rabu (13/4).
Menurut Sonson, selain produktivitas tenaga kerja di China sangat tinggi, harga bahan baku untuk pembuatan pupuk majemuk di negeri itu sangat murah. “Dan pemerintahnya tidak menjadi beban bagi industri. Investasi untuk satu pabrik Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar,” ujarnya.
Dijelaskan, impor urea, yang menjadi bahan baku pupuk majemuk dari China atau Rusia lebih murah dibandingkan bila membeli dari industri pupuk milik BUMN. Ini karena urea dari China atau Rusia sangat tinggi kadar bioretnya, sehingga tidak bisa langsung digunakan.
“Tetapi dapat diolah menjadi pupuk majemuk sehingga bisa digunakan oleh petani. Selain urea, pospat dan KCL pun banyak tersedia di China yaitu dipasok dari Rusia,” tutur Sonson, yang juga Ketua APPKMI Jawa Barat.
Saat ini terdapat sekitar 500 industri pupuk kecil menengah, 148 diantaranya telah mendapat SNI (Standar Nasional Indonesia). Tenaga kerja yang dapat diserap 25 orang untuk satu pabrik yang berskala kecil. “Rata-rata satu industri perlu 50 tenaga kerja. Dari total omzet pupuk nasional Rp 10 trilyun per tahun, market share APPKMI sekitar lima persennya,” ujar Sonson.
Pilihan rasional
Pilihan untuk memindahkan produksi ke China telah dilakukan oleh beberapa pengusaha industri makanan, seperti Garudafood, Nabisco, Coca Cola, Cadburry, Nestle, Unilever, Arnott, dan sebagainya. “Pengusaha normal akan melakukan hal itu. Karena memang biaya produksinya bisa ditekan, dan segalanya menjadi lebih mudah,” kata Nandi Arisbaya, produsen bumbu dengan merek dagang “Nik Nak”.
Menurut Nandi, buat industri besar tidak sulit untuk memindahkan produksinya. “Yang posisinya terjepit itu justru yang kecil. Mereka harus terima keadaan, gula naik, BBM naik, belum lagi kesulitan menembus pasar,” tegasnya.
Dipaparkan, mustahil bagi usaha kecil mustahil masuk ke pasar-pasar modern, karena banyaknya persyaratan dan beban yang harus ditanggung. “Dua tahun terakhir ini keadaan menjadi semakin sulit. Usaha kecil bisa masuk pasar modern dengan menjual curah pada pemain besar. Merekalah yang punya branded,” kata Nandi.
Oleh karena itu, lanjut Nandi, pemerintah hendaknya menjadi fasilitator, membantu industri kecil melakukan transformasi untuk meningkatkan produk serta menembus pasar. “Kepekaan terhadap kebutuhan pengusaha itu yang belum tampak,” tambah Sonson. (ELY)