BANDUNG, (PR).-Ekspansi produk yang dilakukan industri-industri besar di bidang makanan olahan, saat ini sudah mulai mengancam kegiatan usaha pengusaha-pengusaha mikro makanan tradisional. Banyaknya produk pengusaha mikro yang diduplikasi industri besar, menjadikan eksistensi usaha makanan olahan mikro mulai tersisihkan.
“Persaingan memang tak mungkin dihindari, tinggal pelaku usaha mikro meningkatkan diri, terutama dalam hal pengemasan produk,” ujar Ketua Badan Pengurus Harian AKU (Asosiasi Kelompok UPPKS) Jabar, Ir. Sonson Garsoni, saat ditemui di acara “Gelar Produk KUKM Jabar 2004”, Senin (26/7).
Menurutnya, berbagai makanan tradisional yang sebelumnya hanya diproduksi oleh pengusaha-pengusaha mikro di pedesaan, belakangan mulai banyak dibuat perusahaan besar. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha mikro menjadi terdesak, karena dari sisi apa pun mereka sulit bersaing dengan perusahaan besar.
“Lihat saja, mulai dari makanan seperti tengteng, opak, wajit, dan peuyeum ketan, sekarang ini sudah digarap serius oleh industri berskala besar. Malah kalau kita lihat di supermarket, merek-merek dari produsen luar negeri juga sudah banyak yang masuk ke segmen ini,” katanya.
Karena itulah, tambahnya, menyadari buruknya kondisi yang terjadi, pelaku usaha mikro mendirikan AKU. Dengan tujuan untuk memberdayakan diri, agar produknya bisa mempunyai daya saing menghadapi persaingan di pasar. Lewat asosiasi kemudian dilakukan bimbingan dan pembinaan, agar kualitas maupun kemasan produknya lebih berorientasi ke pasar.
“Sekarang sudah banyak produk-produk dari anggota, yang kualitasnya terus membaik. Selain itu, kemasannya juga jauh lebih menarik dari sebelumnya. Tapi ini masih jauh dari berhasil, karena dari 53.063 kelompok anggota AKU, kurang dari 10% yang sudah menunjukkan perbaikan yang signifikan,” katanya.
Untuk melakukan semua itu, menurut Sonson pihaknya bekerja sama dengan CV Sinar Kencana, yang bertindak sebagai perusahaan prinsipal. Dengan tugas di antaranya memasarkan produk, memberi bantuan teknis produksi, dan memfasilitasi rencana pengembangan bisnis.
“Saat ini memang baru Sinar Kencana yang punya perhatian dengan pengusaha mikro di AKU. Mudah-mudahan ke depan ada perusahaan lain, yang bersedia menjadi perusahaan prinsipal,” katanya.
Di tempat terpisah Marketing Manager CV Sinar Kencana, Reni Rikmasari, mengatakan pihaknya banyak menggeluti usaha mikro, karena dinilai mempunyai potensi yang bagus untuk dikembangkan. Dicontohkannya, saat ini saja ada beberapa peluang usaha mikro yang masih sangat terbuka, di antaranya dalam pengembangan dan pemasaran kompos bersubsidi Bank Dunia, kontrak ekspor biji kering buah-buahan tropis ke Jepang, dan pemasaran makanan khas dan kerajinan.
“Yang paling baru adalah kontrak ekspor biji kering buah-buahan ke Jepang. Pengusaha mikro bisa bertindak sebagai suplier-nya, lumayan, harganya kurang lebih Rp 10.000,00/kg. Tapi, pengirimannya minimal 10 ton (satu truk). Dan ini masih terbuka, karena kontrak ekspornya mencapai 2.000 ton/bulan,” ujarnya.
Dijelaskan, biji buah-buahan yang diekspor tersebut, adalah biji buah-buahan yang biasanya terbuang. Seperti biji mangga, alpukat, belimbing, nangka, dan biji durian. Hanya saja biji yang diterimanya haruslah bebas jamur dan kandungan air di bawah 8%. Sehingga sebelum bisa dijual harus dijemur terlebih dulu, biasanya dalam waktu 2 minggu di bawah sinar matahari.
Menyinggung pengemasan makanan tradisional produk AKU, Reni mengatakan pihaknya memasarkan dan mempromosikannya dalam merek Aku Oke. Selain mengurusi berbagai aspek hukumnya, pihaknya juga menjual berbagai macam kemasannya. “Kalau harga produksi kemasannya Rp 75,00, kita jual Rp 100,00 kepada AKU. Dan dengan kemasan tersebut, harga produk AKU biasanya akan meningkat Rp 1.000,00 – Rp 2.500,00/kemasan,” katanya. Seperti diketahui, saat ini di berbagai kota besar pertumbuhan supermarket dan semacamnya makin menjamur, seperti halnya di Kota Bandung , yang menunjang pemasaran sejumlah produk olahan pengusaha besar, sementara produk olahan tradisionil relatif berat untuk bisa masuk. (B.40)***
“Persaingan memang tak mungkin dihindari, tinggal pelaku usaha mikro meningkatkan diri, terutama dalam hal pengemasan produk,” ujar Ketua Badan Pengurus Harian AKU (Asosiasi Kelompok UPPKS) Jabar, Ir. Sonson Garsoni, saat ditemui di acara “Gelar Produk KUKM Jabar 2004”, Senin (26/7).
Menurutnya, berbagai makanan tradisional yang sebelumnya hanya diproduksi oleh pengusaha-pengusaha mikro di pedesaan, belakangan mulai banyak dibuat perusahaan besar. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha mikro menjadi terdesak, karena dari sisi apa pun mereka sulit bersaing dengan perusahaan besar.
“Lihat saja, mulai dari makanan seperti tengteng, opak, wajit, dan peuyeum ketan, sekarang ini sudah digarap serius oleh industri berskala besar. Malah kalau kita lihat di supermarket, merek-merek dari produsen luar negeri juga sudah banyak yang masuk ke segmen ini,” katanya.
Karena itulah, tambahnya, menyadari buruknya kondisi yang terjadi, pelaku usaha mikro mendirikan AKU. Dengan tujuan untuk memberdayakan diri, agar produknya bisa mempunyai daya saing menghadapi persaingan di pasar. Lewat asosiasi kemudian dilakukan bimbingan dan pembinaan, agar kualitas maupun kemasan produknya lebih berorientasi ke pasar.
“Sekarang sudah banyak produk-produk dari anggota, yang kualitasnya terus membaik. Selain itu, kemasannya juga jauh lebih menarik dari sebelumnya. Tapi ini masih jauh dari berhasil, karena dari 53.063 kelompok anggota AKU, kurang dari 10% yang sudah menunjukkan perbaikan yang signifikan,” katanya.
Untuk melakukan semua itu, menurut Sonson pihaknya bekerja sama dengan CV Sinar Kencana, yang bertindak sebagai perusahaan prinsipal. Dengan tugas di antaranya memasarkan produk, memberi bantuan teknis produksi, dan memfasilitasi rencana pengembangan bisnis.
“Saat ini memang baru Sinar Kencana yang punya perhatian dengan pengusaha mikro di AKU. Mudah-mudahan ke depan ada perusahaan lain, yang bersedia menjadi perusahaan prinsipal,” katanya.
Di tempat terpisah Marketing Manager CV Sinar Kencana, Reni Rikmasari, mengatakan pihaknya banyak menggeluti usaha mikro, karena dinilai mempunyai potensi yang bagus untuk dikembangkan. Dicontohkannya, saat ini saja ada beberapa peluang usaha mikro yang masih sangat terbuka, di antaranya dalam pengembangan dan pemasaran kompos bersubsidi Bank Dunia, kontrak ekspor biji kering buah-buahan tropis ke Jepang, dan pemasaran makanan khas dan kerajinan.
“Yang paling baru adalah kontrak ekspor biji kering buah-buahan ke Jepang. Pengusaha mikro bisa bertindak sebagai suplier-nya, lumayan, harganya kurang lebih Rp 10.000,00/kg. Tapi, pengirimannya minimal 10 ton (satu truk). Dan ini masih terbuka, karena kontrak ekspornya mencapai 2.000 ton/bulan,” ujarnya.
Dijelaskan, biji buah-buahan yang diekspor tersebut, adalah biji buah-buahan yang biasanya terbuang. Seperti biji mangga, alpukat, belimbing, nangka, dan biji durian. Hanya saja biji yang diterimanya haruslah bebas jamur dan kandungan air di bawah 8%. Sehingga sebelum bisa dijual harus dijemur terlebih dulu, biasanya dalam waktu 2 minggu di bawah sinar matahari.
Menyinggung pengemasan makanan tradisional produk AKU, Reni mengatakan pihaknya memasarkan dan mempromosikannya dalam merek Aku Oke. Selain mengurusi berbagai aspek hukumnya, pihaknya juga menjual berbagai macam kemasannya. “Kalau harga produksi kemasannya Rp 75,00, kita jual Rp 100,00 kepada AKU. Dan dengan kemasan tersebut, harga produk AKU biasanya akan meningkat Rp 1.000,00 – Rp 2.500,00/kemasan,” katanya. Seperti diketahui, saat ini di berbagai kota besar pertumbuhan supermarket dan semacamnya makin menjamur, seperti halnya di Kota Bandung , yang menunjang pemasaran sejumlah produk olahan pengusaha besar, sementara produk olahan tradisionil relatif berat untuk bisa masuk. (B.40)***