27/02/2006
Cimahi Bertekad Jadi Kota Kompos
CIMAHI, (GM).-
Penanggulangan sampah di Kota Cimahi akan lebih difokuskan pada pengolahan sampah menjadi kompos. Pemerintah Kota (Pemkot) Cimahi saat ini sudah memiliki 30 hingga 40 titik pengolahan kompos, termasuk 9 titik di tiga kelurahan yang sudah berjalan dengan baik. Cimahi dalam waktu dua tahun bertekad untuk menjadi kota kompos sehingga belum tersedianya tempat pembuangan akhir (TPA) tidak akan jadi kendala dalam penanganan sampah.Walikota Cimahi, Ir. H. M. Itoc Tochija, M.M. didampingi Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH) Kota Cimahi, Ir. Sumardjito, M.M., mengungkapkan hal itu kepada “GM”, di sela-sela melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa tempat pengolahan kompos di RW 3, 5, dan 16 Kel. Utama, Kec. Cimahi Selatan, Senin (27/2). “Sebagaimana telah disampaikan kepada Pak Menteri LH dan masyarakat, Cimahi sudah tidak ada kesempatan untuk memiliki TPA. Maka, saatnya kita membuat kompos,” ungkapnya.
Menurutnya, penanganan sampah menjadi kompos akan memiliki nilai lebih, yaitu akan menjadi nilai ekonomi, baik dari pemanfaatan pupuk kompos maupun sampah anorganik, terutama jenis plastik. Semua RW di Kota Cimahi nantinya harus memiliki pengolahan kompos. Hal itu juga sebagai upaya penyadaran masyarakat untuk ikut peduli dalam penanggulangan sampah. “Kompos punya nilai manfaat yang lebih. Lambat laun ini akan menjadi pemicu disiplin masyarakat,” ujarnya.Kadis LH, Ir. Sumardjito, M.M. mengatakan, saat ini sudah ada 30 hingga 40 titik pengolahan sampah yang tersebar di 30-40 RW di 15 kelurahan yang ada di Kota Cimahi. Titik pengolahan kompos ini, menurutnya, sedang dalam tahap persiapan. Sedangkan sembilan tempat pengolahan kompos di 9 RW yang berada di Kel. Utama, Kel. Cipageran, dan Kel. Padasuka sudah berjalan dengan baik.Konsentrasi pengolahan sampah menjadi kompos, lanjut Sumardjito, juga terkait dengan tekad Cimahi untuk menjadi kota kompos dalam waktu dua tahun ke depan.
Tekad menjadi kota kompos ini, lanjutnya, juga sebagai masukan dan saran dari Menteri LH saat bertemu dengan walikota, belum lama ini di Bandung. “Jika sampah warga di setiap RW dikelola menjadi kompos, hampir dipastikan sampah yang ada di Kota Cimahi bisa teratasi. Sesuai saran Pak Menteri LH, dalam dua tahun kita bertekad menjadi kota kompos,” ujarnya.Peluang sudah adaDi RW 5 Kel. Utama, pengomposan sampah dengan sistem bioreaktor mini (BRM) sudah berjalan dengan baik. Menurut Solihin, Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) RW 5, setiap minggu dapat menampung sampah tak kurang dari tiga ton. Pupuk kompos itu sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh warga setempat, baik untuk pupuk tanaman di sekeliling rumah maupun untuk pertanian.Bahkan, menurut Solihin, pihaknya sudah menerima pesanan 5 ton kompos dari perusahaan di Subang. Namun, tambahnya, hal itu masih dalam proses negosiasi. “Kualitas pupuknya tak kalah dan harganya cukup rendah dibandingkan harga pupuk biasa,” ujar Solihin.
Menolak
Sementara itu, terkait dengan penanganan sampah di Kota Bandung dan Kota Cimahi, rencana pembangunan TPA di Kampung Cimerang, Desa Citatah, Kec. Cipatat, Kab. Bandung, warga RW 12 Kampung Cimerang melayangkan surat ke DPRD Kab. Bandung. Isi surat berupa penolakan terhadap rencana tersebut.”Hari ini kami baru saja menerima surat dari warga Citatah yang menolak rencana pembangunan TPA di Cimerang,” kata anggota DPRD Kab. Bandung, M. Ikhsan kepada wartawan, Senin (27/2) di Gedung DPRD Kab. Bandung.Surat yang ditandatangani 210 warga itu berisi alasan penolakan. Dalam surat juga disebutkan, warga mencabut tanda tangan persetujuan atas rencana tersebut.”Dampak negatif dari rencana TPA Citatah telah dirasakan warga RW 12 Cimerang khususnya, yakni terjadinya kesenjangan sosial antarwarga. Setiap warga penuh dengan suuzan, telah hilang kepercayaan antarwarga juga kepercayaan terhadap tokoh masyarakat dan pemerintah, hilangnya kepedulian dan semangat terhadap pembangunan fisik material maupun mental spiritual,” katanya.Warga Citatah, lanjutnya, memberi solusi untuk penanganan masalah sampah. Pengolahan sampah paling baik dilakukan sedekat mungkin dengan sumber asal sampah, seperti yang biasa dilakukan di pedesaan. Setiap rumah tangga di pedesaan mempunyai lubang tempat pembuangan sampah sendiri-sendiri. Apabila lubang sudah penuh dengan sampah dan sampah sudah agak kering, secara berkala dibakar.Menurut warga Citatah, konsep tersebut mudah dipraktikkan, murah biaya, dan tidak merugikan tetangga. (B.35/ami)**