Setelah Pangan & Minyak Bumi, Kini Harga Pupuk Terus Melambung

Siapa sangka jika pertanian suatu saat memiliki misi – bukan saja harus memenuhi kebutuhan pangan dan pakan ternak lagi, melainkan -juga pemenuhan energi dan bahan bakar (BBM). Setelah banyak terjadi perobahan iklim – fenomena global warming – menurunkan produksi pertanian di berbagai belahan dunia, kini kecemasan akan habisnya cadangan bahan bakar sumber fosil -minyak bumi- suatu sumberdaya tak terbarukan (unrenewable) dengan dicerminkan kenaikan harga secara signifikan (menembus diatas US $ 115 / barel), telah membuat banyak negara diprediksi FAO akan mengalami krisis pangan dan energi. Banyak perusahaan di China, Brazil dan AS kemudian mengambil pati jagung ( Corn Starch), kedelai, biji-bijian dan CPO ( Sawit) sebagai bahan baku dalam pembuatan ethanol guna dijadikan bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel. Tentu saja kini rebutan jagung, kedelai dan CPO bukan antara kepentingan pangan dan pakan saja, melainkan pabrik ethanol tadi. Dengan naiknya kebutuhan akan tanaman pangan dan tanaman penghasil minyak lainnya, negara penghasil pupuk Phosphates (P), Kalium (K) dan asam sulfat, misalnya China, kini mengamankan pupuk bagi kepentingan pertanian di negerinya sendiri – dengan menaikan pajak bahkan menyetop sama sekali ekspor. Sumber hara Kalium (K) juga banyak diborong negara penghasil maupun yang jeli untuk produksi jagung secara besar-besaran ( Selatan Amerika ). Karuan saja, di pasar dunia, harga pupuk (Urea, Phosphate, Kalium) terkerek naik, baik di pasar fisik (spot market) maupun penyerahan kemudian (future trading). Nah Indonesia, sebagai negara dengan hanya memiliki Urea (N), akan terkena masalah oleh naiknya pupuk bagi pengamanan pangan maupun dalam rangka menggenjot produksi komoditi perkebunannya. Bagaimana Asosiasi dan Departemen Pertanian RI mencari jalan keluarnya ? Apa pupuk yang tepat bagi petani dan pekebun menyiasatinya?…….selanjutnya