Pemerintah perlu meninjau ulang pola subsidi pupuk organik granul untuk petani, selain dinilai kurang efektif dalam memberdayakan IKM produsen pupuk organik, juga berpotensi merusak lahan pertanian. Apalagi rencananya pada tahun depan kuantitasnya dinaikkan dari 450.000 ton menjadi 1 juta ton.
“Untuk pengadaan pupuk organik granul bersubsidi ini dilakukan dengan dua tahap. IKM produsen pupuk organik garnul menjualnya kepada BUMN, lalu BUMN bersangkutan mendapat penggantian dari pemerintah,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin Jabar Bidang Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan, Sonson Garsoni, Senin (26/10).
Dikatakan, pola itu tampaknya sederhana, namun di lapangan terbukti kurang efektif dalam memberdayakan IKM produsen pupuk. Di Jabar misalnya yang mendapat kuota 60.000 ton pada tahun 2009 yang dipasok IKM diperkirakan akan kurang dari 5.000 ton.
“Padahal hasil kesepakatan bersama, paling tidak dari jatah kuota tersebut 50% dipasok dari IKM. Artinya, paling tidak ada 30.000 ton yang harusnya disuplai oleh IKM,” katanya.
Menyinggung kemungkinan ketidakcukupan kapasitas produksi IKM, Sonson yang juga Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia (APPMI) Jabar mengatakan di Jabar terdapat 15 IKM yang memproduksi pupuk organik granul dengan teknologi yang mencukupi.
Beberapa perusahaan tersebut sehari bisa memproduksi 20 ton per hari, artinya sebulan bisa memproduksi 90.000 ton, lebih dari kuota Jabar sendiri. Akan tetapi, yang dilibatkan dalam skema subsidi oleh BUMN hanya 3 IKM, itu pun dengan jumlah yang tidak signifikan.
“Program ini sebenarnya baik, terutama untuk memberdayakan IKM pupuk. Namun, pada praktiknya seperti setengah hati dan kurang pengawasan,” katanya.
Menyinggung besaran subsidi, Sonson menilai nilainya terlalu rendah. Dia mengingatkan hal ini selain potensial menjadi kampanye negatif pupuk organik granul di kalangan petani, juga bisa merusak tanah pertanian sendiri.
Dijelaskan, besarnya subsidi untuk pupuk organik granul dari pemerintah adalah Rp 1.100,00 per kg. BUMN membeli dari produsen kurang lebih Rp 700,00 per kg, sisanya digunakan BUMN untuk pengemasan dan distribusi.
“Harga Rp 700,00 per kg ini jelas terlalu rendah karena kompos yang sudah bersih tidak tercampur (bahan baku untuk granul organik) harganya sudah Rp 1.000,00. Di pasar sendiri pupuk organik granul mencapai Rp 3.000,00. Artinya untuk mengejar harga Rp 700,00 kemungkinan besar kualitas dikorbankan,” katanya.
Ditambahkan, hal yang paling dikhawatirkan adalah penggunaan bahan baku berupa kompos dari TPA (tempat pembuangan akhir ) sampah untuk mengejar harga Rp 700,00 per kg. Karena sekalipun sudah jadi kompos, kompos TPA masih bercampur dengan zat-zat pencemar lain.
“Yang paling berbahaya adalah tercampur zat logam berat karena ini bukan menyuburkan tanah, malah akan merusak lahan pertanian. Entah disebabkan itu atau bukan, saat ini katanya pupuk organik granul subsidi ini banyak yang ditolak petani. Padahal, oleh BUMN diberikan gratis atau paling mahal pun dijualnya Rp 500,00 per kg,” katanya. (A-135) ***
Naskah asli, http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=106308