Kondisi makin meningkatnya defisit ( kekurangan) dalam memenuhi kebutuhan unsur hara pupuk, baik jenis maupun jumlah, dari tahun ke tahun diketahui makin besar. Bagi Indonesia pun, upaya pemenuhannya masih mengandalkan sebagian makro primer ( fosfor, Kalium) dan makro sekunder ( Mg, Ca, S) dan mikro element) dari sumber impor. Kebutuhan pupuk dalam negeri, yang berasal dari impor, diantaranya jenis pupuk dalam bentuk Phosphates ( P2O5) , kalium ( K2O) , hara makro sekunder antaranya Magnesium atau kieserite ( Mg) , Sulfur ( S) , Calcium ( Ca) dan mikro elemen ( Fe, Zn, Mo, B, Bo) . Sejauh ini pupuk – yang sepenuhnya merupakan produksi dalam negeri hanyalah unsur Nitrogen dalam bentuk pupuk Urea – Diaminomethanal ( NH2) 2CO- dan sebagian kecil pupuk SP dari sumber deposit -yang tersebar dalam jumlah kecil ( spot deposit) di Jawa bagian Selatan dan daerah lainnya.
Ketersediaan pupuk kimia – sebagai sumberdaya tidak terbarukan ( unrenuwable) sementara, dilain pihak, penggunaannya makin meningkat, telah dan akan mendorong peningkatan harga secara terus menerus. Bahkan ancaman defisit, antara kebutuhan unsur hara pupuk dengan ketersediaan, tanpa antisipasi yang memadai sejak saat ini diprediksi akan makin besar dimasa-masa mendatang.
Belum berjalannya konsep pemupukan spesifik lokasi, yakni teknik asupan hara berdasar kondisi kesuburan lahan di masing-masing lokasi ( spesifik lokalita) , juga telah memberi sumbangan pada menaiknya kebutuhan pupuk. Pemakaian dosis pupuk pun berjalan dengan tidak bijaksana. Walaupun telah menjadi kebijakan pemerintah sejak lama, dan diyakini akan meningkatkan produktivitas tanaman sekaligus mengurangi pemakaian pupuk – petani dan pelaksana pemerintahan di lapangan pada umumnya belum menjalankan pola pemupukan spesifik lokalita tersebut.
Bahkan lebih jauh, kondisi yang ada memperlihatkan kalau sebagian besar petani Indonesia – diluar sebagian kecil pengusaha perkebunan dan perusahaan agribisnis- masih memiliki ketergantungan bahwa pupuk adalah urea ( urea minded) serta belum memiliki akses yang memadai terhadap penguasaan data dan informasi kesuburan lahan tempat pengusahaan pertaniannya. Tanpa pemupukan spesifik lokasi, untuk mengejar produktivitas yang sama akan dibutuhkan rataan asupan dosis pupuk yang makin meningkat, dan sejalan dengan itu pencemaran lingkungan tanah pertanian pun makin tinggi. Bertambahnya lahan kritis tercemar pupuk kimiawi akibat dosis tinggi, berpindahnya bahan organik ke kota tanpa pengembalian dari material sisa konsumsi manusia serta pengalih fungsian lahan akan mengancam pada produksi pangan dan hasil pertanian nasional dimasa datang.
Pola pertanian Indonesia – dan umumnya di negara berkembang- yang memanen dan mengirim seluruh bagian tanaman ke pusat konsumsi ( kota) juga berperanan dalam peningkatan kerusakan lahan pertanian akibat kekurangan bahan organik ( C Organik) tanah pertanian di desa. Material sisa ( sampah) tanaman yang tidak termakan manusia, di sortir di pasar, di dapur dan pusat perbelanjaan di kota, telah membentuk kumpulan sampah organik dan kemudian menjadi masalah sampah di kota. Sementara lain, pada saat sama, lahan pertanian di desa tidak memiliki bahan cukup bagi pemenuhan sumber organik ( C Organik) . Dengan demikian telah terjadi pemiskinan hara lahan pertanian, dan seiring waktu tingkat kesuburan tanah pertanian Indonesia menurun.
Pencemaran dan kerusakan lahan di pertanian pun makin meningkat sejalan dengan penggunaan dosis tinggi pupuk kimia oleh para petani. Dosis rekomendasi Balai Penelitian Padi untuk 1 Ha padi 250 kg telah diasupi Urea hingga 500 Kg oleh para petani yang mempersepsikan tanaman harus hijau.
Beberapa Kementerian dan Kepala Daerah telah menyadari dan berupaya melakukan pencegahan pencemaran serta kerusakan lahan, antaranya melalui program rehabilitasi lahan dan kehutanan ( GN RHL) . Nmaun, disadari tingkat keberhasilannya akan tinggi apabila ditunjang oleh pemupukan yang baik. Dilain pihak, persoalan klasik mengenai kelangkaan serta terjadinya lonjakan harga pupuk setiap kali musim tanam seringkali masih terjadi. Padahal produksi pupuk buatan industri kecil dan menengah buatan dari para anggota APPKMI – yang meliputi Pupuk Organik, Organik bentuk granul dan cairan, pupuk majemuk, NPK, Kompos, Pupuk Tunggal dapat menjadi pelengkap dari produk pupuk buatan industri besar BUMN. Bagi industri besar, hal ini tentunya tidak pula menjadi ancaman dan saingan, karena sebagian produsen pupuk anggota APPKMI masih tetap menggunakan pupuk hasil industri besar sebagai bahan dasar.
Dalam rangka partisipasi pengusaha pupuk dalam pembangunan pertanian, perkebunan dan kehutanan, telah dilakukan upaya untuk mempererat serta mempersatukan visi dan misinya dalam wadah Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia ( APPKMI) . Dalam Appkmi berhimpun para pengusaha bidang pupuk, organik dan anorganik, alat mesin pembuatan pupuk organik serta produsen mesin kompos.