Pola produksi dan konsumsi bahan pangan di suatu negara menentukan jenis dan komposisi sampah yang ditimbulkannya. Penyediaan pangan, yang didukung oleh sistim pertanian komersial, seperti umumnya di negara maju, pemilahan (sortir) bahan pangan dan berbagai hasil pertanian di lakukan di lokasi pusat produksi (on farm atau kebun). Semua timbulan material sisa sortasi di kebun, dengan sendirinya, dalam waktu tertentu, akan menjadi humus atau dengan mudah diolah dan dijadikan pupuk organik kompos. Pengiriman dan distribusi bahan pangan ke kota adalah produk siap saji, dalam kemasan styrofoam dan karton, dengan demikian sedikit sekali menyisakan sampah dan limbah organik di kota. Sementara itu, lain halnya, di negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, bahan pangan dipasok dari pertanian skala kecil tradisional. Perlakuan sortasi bahan pangan, di Indonesia, justru di dekat pusat konsumsi (pasar induk, pasar eceran dan rumah tangga).
Dari perbedaan pola produksi dan konsumsi inilah, kemudian, menimbulkan sisa material (sampah) jenis organik alami, dikenal dengan sifat mudah membusuk (degradable). Ketika dominasi jenis organik tercampur dengan material anorganik atau undegradable (plastik, logam, kain), menjadikan sampah dengan aneka masalahnya. Timbulan bau busuk, menghasilkan cairan lindi (lecheate), serta, material tempat berbiaknya binatang, serangga dan mikroba patogen. Perbedaan komposisi sampah demikian, seharusnya menentukan dasar pertimbangan dalam menilai kelayakan ekonomi, sosial dan teknik, suatu metoda dan teknologi pengelolaan sampah antara satu negara maupun wilayah satu dengan lainnya.
Memahami komposisi sampah di umumnya kota-kota di Indonesia, merujuk pada data statistik lebih dari 70 % berupa organik dan sisanya berupa anorganik (kain, logam, plastik, styrofoam, dan aneka sisa kemasan) adalah sangat membuat cemas ketika pengelolaannya diproses di kota, apalagi dengan cara dibakar (insenerasi), atau dengan hanya membuangnya dan kemudian tersimpan di TPA. Pengelolaan sampah demikian, dalam kurun waktu panjang akan memutus siklus materi organik ke sistem pertanian dan pusat produksi bahan pangan. Kebun dan sawah produksi bahan pangan akan terus menerus dikuras bagi pemenuhan konsumsi, sementara itu, sisa material organik nya pun berada di TPA. Bahan pangan, yang kita konsumsi, akan dihasilkan dari kebun dan sawah dengan miskin C Organik. Terkurasnya materi organik di pertanian, dan bahkan lebih lanjut meningkatnya masukan pupuk dan pestisida kimiawi, selanjutnya akan mematikan jasad mikrobial sekitar tanaman. Padahal, diketahui, kandungan mikrobial lingkungan tanaman sangat berpengaruh kepada kualitas tanaman penghasil bahan pangan. Lingkungan mikro tanaman, dengan makin miskin dari kandungan C Organik, membuat ketergantungan (addict) kepada masukan kimiawi (pupuk pestisida), serta lebih lanjut menghasilkan bahan pangan dengan kandungan residu kimia dan pestisida makin tinggi, kandungan serat menurun, menaiknya indeks glycemic (GI), dalam jangka tertentu akan membahayakan kesehatan serta menurunkan derajat kesehatan penduduk.
Indeks Glycemic (GI) mengukur seberapa cepat karbohidrat dalam makanan berubah menjadi gula dalam tubuh. Bahan pangan, dengan indeks glycemic tinggi, sangat cepat berubah menjadi gula,dan berdampak negatif pada fisik. Produk pangan sehat, dengan indeks glycemic rendah, karbohidrat berubah menjadi gula secara bertahap, menjaga keseimbangan kimia tubuh. Fenomena berkembangnya penyakit diabetes melitus, tingginya kadar trigiselid, masalah cholesterol dan berbagai penyakit sistim metabolisme tubuh lainnya, menunjukan makin rendahnya kualitas bahan pangan yang kita konsumsi tersebut.
Dengan pengetahuan dan kecemasan dari akibat kualitas bahan pangan kaitannya kepada tingkat derajat kesehatan, diharapkan makin mendorong kepada kebijakan pemerintah, perilaku dan gaya hidup masyarakat kepada pentingnya menyelamatkan siklus materi. Pengembalian material dari sampah organik, sisa konsumsi, ke pertanian dan lokasi produksi dilakukan dengan cara mendaurnya menjadi pupuk organik, seperti kompos. Material sisa aktivitas konsumsi di pasar induk sayuran, restoran dan rumah makan, warung makan, kantin-kantin pabrik dengan ribuan karyawan, foodcourt, dan sampah organik dari rumah tangga, sangat penting bagi pendukungan kepada hadirnya produk sehat. Mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos, juga berarti, menyelesaikan komposisi sampah terbesar, dan penimbul bau tidak sedap serta timbulan binatang dan penyakit. Makin berkembangnya pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos, misalnya dalam bentuk Instalasi Produksi Kompos di Kota (IPKK) dilakukan berbagai komunitas, seiring dengan tren gaya hidup sehat, yang antaranya dicerminkan oleh meningkatnya permintaan bahan makanan organik dan produk sehat, sekaligus berarti mengembalikan siklus materi material organik kepada habitatnya, lahan pertanian. Dan, pengolahan sampah menjadikannya pupuk kompos, dominasi jenis organik, berarti pula upaya pendukungan bagi tuntasnya masalah sampah yang kini dialami banyak kota-kota Indonesia*)
Selanjutnya,
Masalah Sampah: Diperlukan Desain Kota Tanpa TPA
Perhitungan kasarnya, untuk menghasilkan satu satuan volume produk panen, diperlukan pupuk organik separo dari angka hasil panen tersebut. Jagung hibrida yang hasilnya 8 ton jagung pipilan kering misalnya, memerlukan pupuk kompos sebanyak 4 ton per hektar per musim tanam. Jadi kalau produksi gabah nasional kita sekitar 50 juta ton dan jagungnya 10 juta ton per tahun, maka total jumlah kompos atau pupuk organik lain yang diperlukan untuk padi dan jagung tersebut akan mencapai 30 juta ton per tahun. Penggunaan pupuk organik ini akan bisa menurunkan kebutuhan pupuk kimia tanpa memperkecil hasil panen
Beneficial info and excellent design you got here! I want to thank you for sharing your ideas and putting the time into the stuff you publish! Great work!