Dalam diskusi selasa ( 27/2/2018) di Perhimpuhan Indonesia – Tionghoa (INTI) Jawa Barat yang dipimpin Dedy Wijaya ini terungkap bahwa upah olah sampah ( tiping fee) kepada penanam modal /investor Tempat Pengolahan Akhir Sampah (TPAS) Legoknangka dan ITF Sunter Jakarta akan bertarif di kisaran Rp 381.000 hingga Rp 500.000/ ton. Artinya, penimbul sampah, terutama kawasan komersial ( Mal, hotel, pasar, pabrik, komplek Niaga dan sejenisnya) jika mulai beroperasi nanti, harus bersiap membayar tiap ton atas sampah disetor Rp 381 rb. Itu baru upah olah di TPAS, tentu diluar ongkos mobilisasi, loading/ unloading serta sarana pengumpulan, penyimpanan sementara (container) serta belanja pegawai.
Dapat dikalkulasi, biaya penanganan hingga pemusnahan, yang konon berstandar lingkungan itu, tidak akan kurang dari Rp 635.000/ ton. Dengan hitungan ekonomi, dapat dimengerti bahwa besaran upah olah (tiping fee) untuk menjamin pengembalian modal (investment return ) atas investasi mesin bagi kapasitas 1800 ton sebesar Rp 3,1 trilyun. Angka yang wajar, dapat dipertanggungjawabkan, ada dasar hitungannya seperti RC ratio, cost of money, present value, analisis sensitivity, cost amortisasi dan premi atas risiko dan parameter kelayakan financial lainnya, apalagi proyek diaudit konsultan keuangan bertaraf dunia Price Waterhouse (PWC). Nampaknya, besaran investasi dan tariff tiping fee sejauh ini, Clear.
Namun konsekwensi dari proyek pemusnahan skala tersentralisasi itu bagi pengguna jasa yakni pemerintah kota/ kabupaten se Bandung Raya. Jika Kota Bandung menyepakati 1200 ton/ hari dari total 1800 ton/ hari (threshold yang disepakati pemerintah dan investor TPAS Legoknangka) bagi kawasan Bandung Raya ( Cimahi, Bandung Barat, Kota Bandung, Garut dan Sumedang) tersebut, harus siap merogoh anggaran tidak kurang dari Rp 166,878 milyar/ tahun. Bandingkan dengan anggaran selama ini melalui PD Kebersihan berada di kisaran Rp 19 milyar/ tahun. Dengan kata lain, walikota harus bersiap mencari sumber penutupnya. Dan tentu paling mudahnya, yang tanpa harus mikir panjang, menaikan retribusi persampahan alias melimpahkan beban kepada masyarakat penimbul sampah.
Disamping bagi pengguna jasa (dhi. pemerintah sebagai penyelenggara public services dan masyarakat penimbul sampah, dalam pandangan dunia usaha dalam negeri, peluang proyek pemusnahan sampah terkonsentrasi skala besar juga dipastikan hanya akan ditawarkan oleh penyedia sumber mesin ( sumber impor) dari negara maju. Dengan jargon pemilik kewenangan bahwa teknologi harus canggih (advance), terbukti (proven) dan penawar mampu (bonafide), diindikasikan pengusaha lokal paling tinggi hanya jadi perantara (makelar). Belum ada, bahkan mungkin tidak akan pernah ada, industri dalam negeri yang telah mampu dan berpengalaman mesin pengolahan sampah skala besar. Berlindung dibalik jargon itu adalah gaya dan cara berfikir para pemilik kewenangan publik di negeri ini, daripada mengembangkan teknologi lokal yang memulai dari skala kecil, bisa repot.
Dengan mengacu pada data TPAS Legoknangka, yang dilansir Pemprov Jawa Barat proyek ini berpagu Rp 3,1 ton bagi kapasitas pemusnahan 1800 ton/ hari, itu artinya investasi dan operation cost akan setara Rp 1,72 milyar/ ton. Sama halnya Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter Jakarta akan setara Rp 2,8 milyar/ ton. Angka ini menyadarkan kita semua bahwa mengolah sampah dengan berstandar pada parameter lingkungan negara maju memang mahal. Data ini hendaknya menjadi pembanding ( benchmark) bagi pemerintah kota/Kabupaten sebagai penyelenggara layanan publik (public services). Kalau anggaran PD Kebersihan sudah puluhan tahun hanya Rp 19 milyar/ tahun, seperti contoh Kota Bandung, itu hanya memadai bagi angkut buang, seperti masa 2 dekade lalu, semua keluarga juga membuang hajat tanpa pengolahan di septic tank. Karenanya, jangan pernah harap timbulan 1500 ton/hari sampah kota ini bisa diolah, apalagi dengan standar lingkungan yang diterapkan di negara-negara maju. Bagi kabupaten diluar kota Bandung, yang APBD nya jauh lebih kecil, tentu lebih berat lagi. Apalagi jika investasi mesin pengolah sampah dibiayai anggaran, bagi kabupaten kota kecil dengan timbulan sampah dibawah 500 ton/ hari, akan kurang dibutuhkan 500 ton x Rp 1,72 milyar.
Dalam pembahasan di forum Indonesia Tionghoa, yang juga dihadiri tokoh Ikatan Konsultan, Djoko, yang kesemua peserta ber naluri pengusaha, besaran tiping fee Rp 381.000/ ton sekedar memusnahkan sampah jadi menarik sebagai peluang guna mengungkit kegiatan ekonomi baru. Perputaran barang modal maupun biaya harian sampah bisa dijadikan kegiatan ekonomi para usahawan menengah kecil.
Terlebih dalam diskusi yang dipandu Martin, sekertaris APINdo itu kemudian nara sumber Sonson Garsoni menyampaikan hasil kajian riset aksi lapangan (action research) dan pengalaman lebih dari 10 tahun bahwa sampah memberi nilai tambah (added value) lebih baik jika dikelola dengan skala kecil, terdesentralisasi, di lokasi terdekat sumber timbulannya. Dengan terlebih dahulu dikelompokan atas jenis dan karakternya di TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sebagaimana amanat UU No 18/ 2008, tanpa beban mobilisasi memacetkan perkotaan, sampah akan menjadi bahan baku (raw material). Jenis limbah plastik di pirolisis jadi minyak bakar (heavy oil) dengan sampah kering sebagai sumber kalor proses gasifikasi. Demikian halnya jenis organik dapat dijadikan biogas ( bahan bakar genset pembangkit energy listrik) serta pupuk organik. Jika minyak bakar dan biogas dihabiskan sebagai pemenuhan energi suatu skala Tempat Pengolahan Sampat (TPS) skala kawasan, output netto adalah pupuk organik yang sangat diyakini menjadi modal besar guna membangun pertanian kota ( urban farming).
Dan, TPS skala 2-3 ton, yang dalam standar PUPR maupun kalkulasi kelayakan investasi berkisar Rp 1 milyar/ kapasitas 3 ton, juga dipastikan menggunakan barang modal hasil rekayasa teknik dalam negeri. Besaran investasi akan menjadi penjualan bagi industry mesin dalam negeri tanpa harus menguras devisa bagi pembelian barang modal impor. Jika 1800 ton dibagi habis kepada TPS 3R skala 3 ton/ hari, akan terdapat 600 unit entitas bisnis baru dengan pendapatan mendasarkan tiping fee Rp 500.000/ ton adalah pendapatan upah Rp 540 juta/ tahun diluar perolehan hasil konversi material. Maka bukan saja akan lahir 600 usahawan pengolah sampah di Bandung Raya dengan jaminan layak pendapatan skala UKM, namun total investasi bagi belanja mesin lokal juga tidak perlu sampai Rp 3,1 trilyun, tapi hanya Rp 600 milyar.
Sampah, dengan pengelolaan menggunakan metoda reuse-reduce-recycle (3R) di skala TPS adalah suatu material recovery process. Dari beban, akan menjadi sumberdaya baru bagi pemenuhan kebutuhan penduduk akan energi dan pangan (**)