Tataniaga Agrobisnis Teh Tidak Efisien

EKONOMI
Kamis, 10 Juli 2003

Tata Niaga Agrobisnis Teh Belum Efisien

BANDUNG, (PR).-Ketua Bidang Pertanian Kadin Jabar Sonson Garsoni menilai tata niaga komoditas agrobisnis di Jabar yang belum efisien selama ini harus segera diatasi agar industri agro dapat lebih berkembang serta tidak perlu lagi mengandalkan komoditas impor. Demikian ungkap Sonson ketika berdiskusi dengan Fordisweb (Forum Diskusi Wartawan Ekonomi Bandung), Selasa (8/7).

Dijelaskannya, upaya itu menjadi sangat penting bila melihat perkembangan ekspor komoditas agro di Jawa Barat dari tahun ke tahun yang cenderung mengalami penurunan, sedangkan impor komoditas agro malah menunjukkan peningkatan secara signifikan. Peningkatan impor misalnya terjadi pada komoditas daging ayam, beras, jagung, gula pasir, dan kedelai.

“Sebenarnya ini tak perlu terjadi karena komoditas itu sebenarnya dapat dihasilkan di dalam negeri. Masalah pemasaran komoditas agro harus segera diatasi,” tambahnya. Hal tersebut terjadi antara lain karena adanya perbedaan mutu, kesinambungan pasokan, lokasi penyerahan, dan tata cara pembayaran,” kata Ketua Asosiasi Konsultan Non-Kontruksi (Askindo) Jawa Barat ini.

Mutu yang ditawarkan petani, misalnya terkadang berbeda dengan yang diharapkan konsumen. Kemudian, petani terkadang tidak dapat memasok komoditas dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan konsumen secara kontinu. Selain itu, petani terkadang ingin menjual komoditas di lahan tani, sedangkan konsumen berharap membelinya di pasar. Begitu pun dalam tata cara pembayaran, petani selalu berharap dibayar secara kontan, sedangkan konsumen secara kredit atau diangsur.

Masalah fluktuasi harga, misalnya, terjadi karena kualitas pasokan dan kontinyuitas pasokan tidak dapat dijaga. Jika permintaan konsumen per hari mencapai seribu ton, sedangkan arus pasokan ternyata kurang dari itu, harga akan naik. Begitu juga sebaliknya. “Jadi, fluktuasi harga itu terjadi karena gejala inkonsistensi, yakni gejala kemampuan memenuhi kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas,” tambahnya.

Masalah lainnya yakni transformasi informasi pasar, sambung Sonson, informasi yang diterima petani dengan realisasi pasar seringkali terjadi kesenjangan yang sangat jauh. Semakin jauh kesenjangan itu, bagi petani akan semakin berat. Dengan kondisi seperti itu, membuat daya saing komoditas pertanian menjadi rendah.
Itu terjadi misalnya pada komoditas teh. “Mungkin dulu, teh dikenal sebagai komoditas primadona di Jawa Barat. Namun sekarang, malah dianggap sebagai komoditas yang tidak memberikan insentif bagi pelaku pertanian teh,” lanjutnya. (A-68)***