Masalah Sampah Dan Ancaman Pada Ekspor Buah Sayuran

Memang harus diakui mustahil jika menggantikan Tempat Pelupusan Sampah ( TPA, Red) di Malaysia dengan teknologi komposter Rotary Kiln BioPhosko– pengolah sampah organik. Tidak kurang dari 2.600 ton per hari sampah Kuala Lumpur saja, sementara komposter yang kini dikenalkan hanya berkapasitas 1 ton per 5 hari proses. Jadi peranan komposter bukanlah sebagai alternatif pengganti TPA melainkan menjadi satu pilihan metoda dalam “reduce” sampah sebelum diangkut dan masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah saja.
Tempat Pelupusan (TPA) di Selangor Malaysia awalnya suatu lembah, kini telah berobah menjadi bukit yang tinggi karena diisi sampah selama lebih sepuluh tahun. Sejak Tapak Pelupusan sampah di Air Hitam, Puchong dan Jinjang tidak mampu menerima limpahan sampah dan bahkan leacheate-nya (baca: licid) sudah taraf mencemari sumur penduduk dan sungai; maka, konsentrasi buangan sampah diarahkan ke Bukit Tagar, Hulu Selangor. Masalah Tempat Pelupusan( TPA, red), kendati ramai dibicarakan rakyat Malaysia, namun sebenarnya belum menjadi masalah bau dan atau bertumpuknya seperti sampah kota-kota di Indonesia. 

Namun satu hal yang kami bangga dan kagum adalah adanya antusiasme warga Malaysia akan pembuatan baja organik ( kompos, red) berbahan sampah. Stand booth No A.18 di Hall C, milik Konsortium Melayu Selayang Bhd– agen dari Perusahan Prinsipal PT CV Sinar Kencana (CVSK) dari Indonesia -selama Pameran Agrikultur, Hortikultur dan Agro Pelancongan atau Malaysia Agriculture, Horticulture & Agrosturism ( MAHA EXPO ) Malaysia selalu dipenuhi pengunjung. Dan, produk master stand berupa Hand Rotary Klin serta beberapa puluh unit Komposter pun terjual. Kini, baik karena supply barang menjelang pameran maupun impor sebelumnya- di Malaysia telah beredar dan digunakan sekitar 100 unit komposter BioPhosko di berbagai kota dan negara bagian meliputi Seremban, Kajang, Batu Caves – Selangor maupun di negara bagian seperti Johor, Kedah, Pahang dan kelantan .

Apa gerangan yang menjadi pendorong rakyat Malaysia begitu antusias pada masalah sampah dan baja kompos ? Bukankah setiap hari lori atau truck compactor – yang mampu membawa sampah sambil di “compacting” didalamnya masih hilir mudik melayani pengangkutan sampah ? Dan, nampak kota serta komplek perumahan bahkan pasar pun masih terlihat bersih dari sampah, kok ?
Jawaban yang paling dapat dimengerti adalah ternyata motive kesehatan. Bagi rakyat negara yang jauh lebih makmur dibanding tanah air kita ini, namun mau mengelola sampah dengan menempatkan komposter di sekitar rumah dan pekarangan dengan harga sampai RM 4.000,-/ Hand Rotary ( setara dengan Rp 10.000.000,-), adalah karena keinginan mendapatkan kompos alias baja organik. 

Harga baja organik, keluaran tempatan ( lokal) maupun eks Thailand, sekitar RM 4 sd RM 6/ kg ( setara Rp 10.000,- sampai Rp 15.000,- ) – artinya setara dengan 15 kali harga kompos Indonesia. Karena terbatasnya produsen kompos, sementara adanya kesadaran petani dan dorongan subsidi pemerintah telah meningkatkan kebutuhan pertanian dan tanaman pekarangan akan baja organik yang makin meningkat hari demi harinya. Rakyat yang makin maju, makin sadar akan kesehatan dan mereka mau membayar lebih mahal akan bahan makanan atau hasil pertanian berbaja organik ini. Bahkan suatu saat, Malaysia bisa menghentikan sama sekali impor hasil pertanian seperti sayuran dan buah- yang kini banyak dipasok dari Sumatera Utara ( Karo, Brastagi ) lewat Belawan ke Port Klang dan Batam ( jalur Tanjungbalai- Stulang Laut Port maupun Port Pasir Gudang Johor) jika saja Indonesia masih ekspor bahan makanan dan hasil pertanian seperti buahan dan sayuran yang “full pesticide” ini. Jadi ternyata ada hubungan erat antara kemauan mengolah sampah dengan keekonomian Indonesia itu sendiri di tahun-tahun mendatang.

Kini, Singapura dan Jepang telah jelas-jelas menolak import hasil pertanian dari Tanah Karo dan Brastagi lewat Port Belawan dan sayuran via Batam ke Harbourfront Singapore karena dikaji mengandung residu pestisida dan bahan kimia pupuk yang amat tinggi konsentrasinya.
Akankah Malaysia dan negara andalan dagang hasil pertanian lainnya ikut kebijakan negara Jepun dan Singa itu ? Berapa banyak petani di Indonesia akan kehilangan pasarnya ? Jika saja komposter banyak berhasil digunakan para petani di Malaysia dan Brunei maka akan banyak petani Malaysia menggunakan kompos dan menyebabkan akan terhentinya ekspor sayuran dan buahan ke sana ? Atau, bahkan, negara itu akan menjadi pesaing Indonesia mengisi pasaran Jepang dan Singapura akan kebutuhan pertanian organik, mengingat kedekatan jarak serta murahnya biaya transportasi antara Johor-Melaka ke Singapura. Bahkan kini, setiap akhir pekan, kemacetan di Checkpoint Woodland makin menjadi jadi tatkala penduduk Singapura banyak berbelanja ke Malaysia yang bermasa tempuh sekitar 1 jam saja.

Ternyata ada hubungan erat antara kegemaran mengelola sampah rumah tangga dan lingkungan dengan keekonomian suatu komunitas – petani. Kemungkinan muncul pengangguran baru petani Indonesia……………..ya harus mau olah sampah jangan tunggu kondisi menjadi darurat terus. Dengan hasil kompos, dimana anda turut menyumbang, akan menyuburkan kembali tanah air Indonesia yang sudah banyak gersang ini. Dan dengan itu hasil pertanian kita akan makin menyehatkan, sesuai standar kesehatan organik yang makin ketat,  juga menurunkan biaya pupuk para petani kita. Semoga.+)

3 thoughts on “Masalah Sampah Dan Ancaman Pada Ekspor Buah Sayuran

  1. masalah sampah, dan juga masih banyak problem, seringkali bukan karena kebodohan kita melainkan, soal kemauannya ada apa tidak ? ……

  2. saya lihat anda bisa mengatasi masalah sampah dengan mekanisme ekonomi, kenapa tidak disampaikan ke petinggi negara saja ? biar cepat selesai dan banyak manfaat atasi masalah sampah ?

  3. Memang begitu kira-kira kalo saja semua orang berkomentar,karena ya tidak pernah adanya keberhasilan,dimana-mana(asal jujur)sampah bagekan tak pernah teratas,meskipun didukung milyaran Rp.atau saat program dimulai begitu tingginya yg.dikatakan,tapi begitu gantu tahun,apa yg.terjadi,(pantas di katakan beg gedabek nggeblak)sampah tetap menumpuk layaknya tak pernah teratasi.Itu semua menurut saya tidak adanya arah yg.tepat,semua tahu sampah apa,dimana dan kondisinya bagemana,di tawur olaaaah,olaaaah saja.Sampah yg.diolah itu sampah yg.masih bisa dimanfaatkan,itu gak usah diusik sdh.berjalan mulus(pemulung tanpa diundang datang memungut)jadi kesimpulannya arah penanganan ditujukan pada sampah-2 yg.sama skali tidak dapat dimanfaatkan.Mungkin se Indonesia belum ada alatnya kan gitu,bila ada pun tidak akan mampu,untuk itu saya penemu caranya tidak memproduksi,tidak menjual sekedar membantu bagi yg.memerlukan,kemampuannya tidak perlu diragukan berdasarkan pengalaman berpuluh-puluh tak satu pun yg.tidak berhasil.Trima kasih.

Comments are closed.